Pesantren ada sebelum jaman kemerdekaan dan ulama-ulama pendiri NU lah sang pelopor pendirian pesantren di Indonesia. Para ulama tentu berkiblat pada pendahuluan yaitu para wali dan sunan yang menerapkan pendidikan khusus dengan perhatian khusus bertujuan menciptakan kader ulama yang pintar, benar dan militan, para ulama mengumpulkan santri dalam satu lingkungan khusus memiliki nilai sosial yang tinggi, dimana sistem sosial dibangun sejak awal dalam sistim nilai sosial tersebut terdapat kebersamaan, kepedulian dan saling menghormati antara satu dan yang lainnya. Di sisi lain kenakalan yang terjadi dilingkungan santri juga merupakan gambaran sosial dimasyarakat luas, dalam hal ini santri belajar menyelesaikan permasalahan yang terjadi, tak dapat di pungkiri dilingkungan pondok ada budaya syarik ( pencurian ) Gosoban ( mengambil hak orang lain, contoh sendal dipake tanpa izin ) dan Gasakan ( saling ledek ) dll, permasalahan sosial dilingkungan sanrtri tentu juga terjadi dilingkungan masyakat luas bahkan lebih besar lagi. Pembelajaran itu akan membekas setelah santri selesai dan kembali kelingkungan masyarakat. Itulah keunikan dunia pesantren khususnya pesantren bergaya salafiyah.
Para kyai mendirikan pesantren memiliki tujuan utama yaitu pembinaan akhlak yang diajarkan dan diawasi 24 jam penuh. Interaksi antara kyai dan santri dilakukan secara langsung dan tidak langsung, secara langsung melalui pembelajaran kitab-kitab akhlak seperti kitab Ta’lim mutalim, Taisyrul kholaq, akhlakul banin, dll. Secara tidak langsung kyai mengawasi penerapan pembelajaran akhlak kepada setiap santri melalui pengurus atau petugas khusus. Akhlak menjadi perhiasan utama bagi orang yang berilmu oleh karena itu akhlak jadi tumpuan utama keberhasilan pondok pesantren. Di wilayah timur Cirebon sampai Madura ciri utama santri dengan non santri yang akhlaknya sikap dan gaya bicara benar-benar menjadi modal utama, tidak ada santri yang berani menatap wajah kyai, tidak ada santri yang balapan jalan dengan kyainya dan tidak ada santri yang lewat depan kyai bahkan tidak bicara sebelum disuruh bicara.
Dalam kitab-kitab akhlak terrangkum dalam satu kalimat yang difahami dan jadi budaya yang hidup dalam diri santri, kalimat itu adalah Takriman wa Takdziman lil Mahabbah. Bisa dikatakan bahwa Takriman wa Tadziman adalah hasil akhir minimal yang harus diraih oleh para santri, walau kemampuan kitab minim tapi hasil akhir terlihat bagus maka semua itu akan tertutupi karena baju akhlak itu menutupi keterbatasannya sebaliknya kemampuan kitab maksimal tapi tidak ditutupi baju akhlak maka jauh dari kesempurnaan diri dan jauh dari pengakuan sosial masyarakat. Banyak contoh kasus dari keunikan Takriman wa Takdziman ini, ( dalam tulisan berikutnya )
Keberhasilan Takriman wa Takdziman bergantung kepada budaya yang diciptakan oleh para Kyai pengasuh pondok. Budaya Takriman adalah budaya memuliakan kyai dan keluarga kyai di wilayah timur anak kyai terkecil pun sangat dimuliakan maka mereka di hormati dengan gelas Gus, Ning, Kang, Nok, Lora dan Cep kalau di Barat agar tidak menyebut namanya terasa tabu apabila langsung dipanggil namanya selain itu memberikan pelayanan yang baik juga diberikan dalam rangka memuliakan. Budaya Takdziman adalah budaya menghormati yaitu menempatkan Kyai dan keluarga diatas dirinya, menjaga kehormatan Kyai dan keluarganya bahkan rela mengorbankan dirinya untuk kehormatan Kyai dan keluarganya. Budaya itu berlaku setiap hari selama 24 jam selama santri mondok sehingga menjadi bagian dalam diri santri.
Bagaimana dengan budaya di wilayah kita. Sangat sedikit pesantren yang menerapkan budaya Takriman wa Takdziman ini. Penilaian saya saat berkunjung ke pondok – pondok hanya 10 – 15 % santri bersikap Takriman wa Takdziman selebihnya seakan tak perduli, bahkan lewat depan kyai seperti biasa tanpa tunduk kepala atau membungkukan badan, sungguh budaya yang kurang dikembangkan dikalangan pesantren, pembangunan akhlak bisa tercipta dari sistem sosial yang bangun menjadi budaya sehingga tertanam dijiwa santri sampai akhir hayat. Seorang kyai yang sudah terkenal sekali pun akan tunduk memuliakan dan menghormati Kyai dan keluarganya karena sudah tertanam saat di pesantren, tidak sedikit seorang yang bergelar ustad yang lupa dan tidak ada saya hormat kepada kyai dan keluarganya bahkan merasa sederajat. Dan itu adalah hal buruk bagi seorang santri.
Takriman wa Takdziman lil Mahabbah adalah ciri pesantren Nahdlatul Ulama yang tidak boleh mati, sudah menjadi tanggung jawab para penerus pondok dan santri ( alumni ) menjaga tradisi ini. Menjaga budaya tersebut adalah dengan memelihara dan memberikan wawasan kepada santri betapa pentingnya memuliakan dan menghormati Kyai dan keluarganya, Takriman wa Takdziman juga menjadi keberkahan ilmu bagi santri.