Bagaimana Menyikapi Fatwa yang Kontroversial?

Bagaimana Menyikapi Fatwa yang Kontroversial?

Sebagian dari kita cenderung reaktif jikalau mendengar ada fatwa yang terkesan aneh dan kontroversial. Bahkan tanpa ilmu yang memadai mereka langsung mencerca dan mencemooh ulama yang mengeluarkan fatwa kontroversial. Mereka tidak bisa menerima perbedaan fatwa, apalagi fatwa yang terdengar aneh.

Sebenarnya selama fatwa tersebut berdasarkan kaidah keilmuan maka tidak ada yang aneh. Kontroversi itu hal biasa. Pendapat jumhur atau mayoritas ulama belum tentu benar, dan pendapat yang berbeda belum tentu salah. Sepanjang sejarah pemikiran Islam, para ulama biasa berbeda pendapat. Pada satu kasus, ulama A berbeda dengan jumhur ulama. Pada kasus lain, justru ulama A yang membela pendapat jumhur. Inilah indahnya keragaman pendapat, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya Mausu’ah al-fiqh al-Islami wa al-qadlaya al-mu’ashirah.

Perbedaan pendapat, jikalau dipahami dengan proporsional, akan membawa rahmat. Umat tinggal memilih satu pendapat yang lebih cocok, lebih sesuai dan lebih maslahat serta lebih mudah dijalankan, di antara sekian banyak pendapat. Rasulullah SAW pun jikalau dihadapkan pada dua perkara, beliau SAW akan memilih perkara yang lebih mudah. Karena semua pendapat mazhab itu memiliki dasar dan dalil dari al-Qur’an dan Sunnah, maka pertanyaannya bukan lagi pendapat mana yang benar, tapi pendapat mana yang lebih cocok kita terapkan untuk kondisi yang kita hadapi.

Kalau soal kontroversi, ulama mana yang tidak dianggap kontroversial? Semua ulama pada masanya pernah dianggap fatwanya aneh dan kontroversial. Misalnya, Imam Syafi’i berbeda pandangan dengan mayoritas ulama ketika mengatakan anak hasil zina boleh dikawini oleh ‘bapak’nya. Ini pendapat yang bikin heboh. Atau bagaimana Imam Malik berpandangan anjing itu suci, dan tidak najis. Ini berbeda dengan pandangan jumhur ulama. Atau ada pendapat lain yang terkesan sepele tapi terdengar aneh. Kalau anda berbohong saat berpuasa, apakah puasa anda batal? Menurut Imam Dawud al-Zhahiri, puasa anda batal. Menurut jumhur ulama, tidak batal. Apakah saat anda tersenym ketika sedang shalat, shalat anda batal? Iya, batal, menurut Imam Abu Hanifah, dan tidak batal menurut jumhur ulama. Apakah kalau anda makan daging unta, wudhu anda batal? Iya, batal, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, tapi tidak batal menurut jumhur ulama. Apakah kalau anda minum nabidz (selain dari perasan anggur) dan tidak mabuk itu hukumnya halal? Iya, nabidz itu halal pada kadar tidak memabukkan menurut Imam Abu Hanifah, tapi dinyatakan haram oleh jumhur ulama baik mabuk atau tidak. Apakah yang haram itu hanya daging babi saja atau semuanya termasuk lemak dan tulangnya? Jumhur bilang semuanya dari babi itu haram, tapi Imam Dawud al-Zhahiri bilang hanya daging (lahm) nya saja yang haram.

Contoh-contoh di atas bisa terus berlanjut, dan semua ulama mazhab pernah berbeda dengan jumhur ulama. Dengan kata lain, pendapat mereka dalam kasus-kasus tertentu dianggap aneh dan kontroversial. Namun bukan berarti mereka pantas untuk kita cerca atau cemooh. Sesuai hadits Nabi, jikalau mereka salah dalam berijtihad, mereka mendapat pahala satu. Dan jikalau ijtihad mereka benar, maka mereka mendapat pahala dua. Apapun hasil ijtihad mereka, mereka tetap mendapat pahala. Dan kita yang tidak pernah berijtihad, dan hobinya cuma mencerca ulama manakala mendapatkan kesimpulan yang berbeda dari biasanya, bukannya dapat pahala, jangan-jangan malah dapat dosa. Naudzubillah.

WaAllahu a’lam Tabik,

Nadirsyah Hosen

EKSISTENSI dan ESENSI

EKSISTENSI dan ESENSI

Fenomena gejala religiusitas modern saat ini semakin menggeliat dan mengkristal secara maknawi menjadi korpus-korpus doktrinal kaum millenial, city kommunal maupun kaum profesional dengan jargon Hijrah’nya, entah itu dengan desain hijrah industrial, komersial, dsb, padahal hijrah itu ada dua macam (hijrah makaniyah/fiskal & haliyah/spiritual).

Fenomena diatas terlihat dengan adanya massifitas kelompok yang dominan menginterpretasikan perihal keimanan & keislaman kebanyakan sebatas pd dimensi kebahasaan (tekstual) dan sebagai aktivitas pengetahuan kognitif belaka, akhirnya berimplikasi pada penekanan aktualisasi nilai-nilai keagamaan dijewantahkan hanya melalui simbolik eksistensi luaran semata seperti penekanan memakai atribut keshalehan lahiriah, berkutat pd kultur egosentris ujubiyah/merasa paling…, dan ada juga praktik religiusitas tsb dilakukan secara narsis melalui media politik kekuasaan pragmatis.

Tak ayal seringkali hal diatas berdampak pd hakikat inner dan power iman & islam kian pudar, hilang dan raibnya makna kedalaman agama, sirnanya kebersahajaan dan kerendahan hati dalam memproyeksikan keimanannya atas Realitas Absolut yang dikukuhi dalam agama.


Ada beberapa Nasihat-nasihat Esensial terutarakan oleh para ulama dulu:

Parameter keshalehan seseorang bukan terletak pada jubah atau sorban yang dia kenakan, sebab kealiman adalah karakter yang melekat di dalam jiwa. Pakaian yang lusuh tidak akan merubah kualitasnya. (Rumi).


ذنبك المستور لا يَجعلك أهلاً للخَوض في أهل الذنب المَفضوح لا تَغتَرّ بحلم الله عليك

“Dosamu yg tertutupi janganlah membuat dirimu seolah2 berhak untuk menghukumi, menjelek2kan, menghinakan kpd mrk yg dosany terkuak, jnganlah engkau terlena dg klembutn Allah kpdmu“.

“Jika melihat orang jahat, jangan anggap kita lebih mulia kerana mungkin satu hari nanti dia akan insaf dan bertaubat atas kesalahannya.”

“Jangan biarkan hati Anda mendapatkan kesenangan dengan pujian dari orang lain atau Anda akan sedih dengan kecaman mereka.” (Imam Al Ghazali)


اهل الفضل هم اهل الفضل مالم يروا فضلهم

Orang mulia adalah orang yang mulia sepanjang tidak memperhatikan kemuliaannya.” (Fudlail ibn Iyadl)



الرجل كلما اتسع فكره وعلمه اتسع قلبه وصدره

Manakala pikiran dan pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka hati dan dadanya lapang (menerima perbedaan)”.


وكلما زاد فقهه ونظره قل انكاره على الناس

 “Manakala pengetahuan dan pandangn seseorg makin luas dan tinggi, ia jarang sekali menyalahkan orang lain“.


لَوْ طَغَى حُبُّ الرُّوْحِ عَلَى حُبِّ الْجَسَدِ لَأَغْلَقَتْ دَوْرَ الْأَزيَاءِ أَبْوَابَهَا

“Seandainya cinta ruhaniah melampaui cinta jasmani niscaya hal itu pakaian tak berguna lagi” (Al-Rawajiyyah, Hikam wa Amtsal, h. 8).


Mari terus mengaji dan menggali sampai ketempat galian diri!

Wallahu a’lam

Ahmad Idhofi

Benarkah Muslim itu Harus Keras Terhadap Orang Kafir? Tafsir Surat al-Fath:29

Benarkah Muslim itu Harus Keras Terhadap Orang Kafir? Tafsir Surat al-Fath:29

Surat al-Fath berjumlah 29 ayat yang semuanya turun dalam konteks perjanjian Hudaibiyah. Oleh karena itu, memahami ayat terakhir dalam surat ini juga tidak bisa sepotong-sepotong, karena kita harus memahami keseluruhan konteks ayat-ayat sebelumnya, plus pemahaman utuh tentang perjanjian Hudaibiyah. Inilah yang dilakukan oleh Imam al-Alusi, pengarang Tafsir Ruhul Ma’ani yang harus berpanjang lebar menceritakan peristiwa Hudaibiyah sebelum menjelaskan potongan ayat 29 di bawah ini:

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…

Kesalahpahaman akibat kegagalan memahami pesan utuh ayat ini sering terjadi dan berpotensi menimbulkan gesekan sosial di masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia. Kita saksikan sebagian saudara kita yang pasang wajah kusam dan angker kepada non-Muslim atau juga kepada sesama Muslim yang sudah mereka anggap kafir. Tak ada senyum dan tak ada ramah tamah. Mereka bahkan menyalahartikan ayat ini sebagai kewajiban bersikap kasar kepada orang kafir karena kata “keras” dipahami sebagai permusuhan.

Sebagian saudara-saudara kita juga bersikap mencurigai kebaikan orang kafir dan menoleransi keburukan orang Islam karena memahami ayat di atas secara harfiah tanpa memahami konteksnya. Pendek kata, semua tindakan orang kafir dicurigai dan ditolak, dan semua hal yang tidak benar dari sesama Muslim diterima begitu saja

Konteks ayat di atas adalah suasana ketegangan, bukan ayat di masa tenang atau damai. Jadi, memberlakukan ayat itu dalam konteks keseharian kita berinteraksi sosial tentu kurang pas. Ketika Rasulullah SAW bermimpi memasuki kota Mekkah sebagai sebuah kemenangan yang dekat (fathan qariban), maka para sahabat dan Rasul bersama-sama hendak memasuki kota Mekkah berhaji pada tahun keenam hijriah. Singkat cerita, kaum kafir Mekkah menghadang dan memaksa Rasulullah dan sahabat kembali ke Madinah lewat sebuah perjanjian di daerah Hudaibiyah, dimana menurut para sahabat utama seperti Umar bin Khattab, perjanjian tersebut amat sangat merugikan umat Islam

Sejumlah orang munafik mengambil kesempatan untuk menimbulkan kegaduhan, seperti terekam dalam ayat-ayat awal surat al-Fath. Allah pun menenangkan umat Islam yang seolah patah semangat bahkan ada pula yang mempertanyakan kebenaran mimpi Rasul sebelumnya. Surat al-Fath turun dalam suasana yang demikian. Di akhir surat, Allah menegaskan kembali kebenaran mimpi Rasul, kepastian kemenangan (yang terbukti saat Fathu Makkah) dan kebenaran bahwa Muhammad itu seorang utusan Allah. Di ayat 29 inilah Allah seolah hendak mengatakan: “jangan kalian ribut dan ragu sesama kalian, kalian harus saling berkasih sayang dan berlemah lembut diantara kalian, dan sifat keras dan tegas itu seharusnya ditujukan pada orang kafir bukan pada sesama kalian!”.

Ibn Abbas menafsirkan ayat 29 surat al-Fath yang sedang kita bahas ini khusus untuk para sahabat yang menyaksikan peristiwa Hudaibiyah. Sahabat Nabi yang terkenal cerdas luar biasa ini menafsirkan sebagai berikut:

Muhammad itu utusan Allah, tidak seperti kesaksian Suhail bin Amr (yang memaksa Rasul untuk menghapus kalimat MuhammadRasulullah dalam naskah perjanjian Hudaibiyah dan diganti dengan Muhammad bin Abdullah saja); dan orang yang bersama Muhammad, yaitu Abu Bakar, ia termasuk orang yang pertama kali mengimani kerasulan Muhammad; keras terhadap orang kafir (maksudnya ini merujuk kepada Umar bin Khattab sebagai pembela Rasulullah), berkasih sayang sesama mereka (ini ditujukan kepada Utsman bin Affan). Lanjutan ayatnya: Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud (ini menyifatkan Ali bin Abi Thalib); mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya (ini menyifatkan Thalhah dan Zubair).

Al-Samarqandi dalam kitab tafsirnya Bahrul Ulum memberi penafsiran yang mirip dengan Tafsir Ibn Abbas di atas. Yang dimaksud bersama Nabi itu adalah Abu Bakar, yang keras itu Umar, yang berkasih sayang itu menyifatkan Utsman dan yang rajin ruku’ dan sujud itu Ali, sementara yang mencari karunia Allah dan keridhaannya itu adalah Zubair dan Abdurrahman bin Awf.

Penafsiran model Ibn Abbas di atas juga dikonfirmasi oleh Imam al-Alusi. Meski demikian beliau juga menyebutkan bahwa jumhur ulama menganggap penyifatan ini tidak hanya khusus untuk pihak tertentu yang menyaksikan peristiwa Hudaibiyah tapi merupakan sifat semua sahabat Nabi. Kalaupun kita terima pendapat jumhur ini, namun ini tidak berarti bahwa saat ini kita dibenarkan bersikap garang dan bermusuhan kepada orang kafir, karena semua ahli tafsir sepakat asbabun nuzul ayat di atas terikat erat dengan konteks ketegangan peristiwa Hudaibiyah.

Allah telah berfirman dalam Surat al-Mumtahanah ayat 8 mengatur relasi dengan pihak kafir:

Allah tidaklah melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Itu artinya, Muslim tidak dilarang berbuat baik kepada tetangga maupun kawan sepermainan atau kolega di kantor yang merupakan non Muslim. Dua bukti lain bisa kita lihat dalam sejarah Rasulullah. Pertama, ketika ayat assyidda’u ‘alal kuffar (al-Fath: 29) di atas turun, justru Rasulullah sedang bersikap ‘lunak’ kepada orang kafir dalam perjanjian Hudaibiyah bukan sedang memerangi mereka.

Kedua, ketika peristiwa Fathu Makkah terjadi, Rasulullah juga bersikap lemah lembut kepada penduduk Makkah, bahkan Abu Sufyan pun mendapatkan perlindungan dari Rasulullah. Itulah sebabnya Rasulullah disebut sebagai al-Qur’an berjalan, karena beliau tidak mengikuti hawa nafsu, amarah maupun dendam permusuhannya, tetapi benar-benar merupakan perwujudan rahmat bagi semesta alam.

Wa ma yanthiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyu yuha (tidaklah Ia bicara berdasarkan hawa nafsunya melainkan apa-apa yang diwahyukan kepadanya) QS 53:3-4

Tabik,

Nadirsyah Hosen