oleh Ahmad Idhofi | Agu 21, 2020 | Artikel, Hujjah Aswaja, Kajian
Mengapa nabi Musa dipertemukan dengan nabi Khidir?…
Tiada lain adalah sebuah teguran atas klaim ke-Akuan sekaligus merekonstruksi mindset nabi Musa agar cara berfikirnya serta pemahamannya terhadap agama itu tidak pragmatis, normatif ‘hitam – putih’, dimana agama hanya dimaknai rangkaian konstruksi doktrin, dogma dalam ritual dan ceremonial, yang nantinya bermuara pada dualitas terma yang terdiri dari hal yang bisa diraba dan dicerna oleh akal budi semata (syar’i-tidak syar’i, benar-salah, baik-buruk, larangan-suruhan, sorga-neraka dsb), karena hal ini seperti konstruksi disiplin ilmu fiqih yang seperti mudah dibaca dan diraba oleh logika manusia, juga memagzulkan unsur mysteri atau teka teki senyawa cinta sang pencipta.
Faktor inilah yang melatar belakangi dihadirankannya sosok nabi Khidir dengan misi mendestruksi ke-Akuan sekaligus merekonstruksi kepincangan paradigma yang ada pada diri nabi Musa pada saat itu, Jika boleh berpendapat maka paradigma tersebut bisa dianalogikan bak “agama robot” dengan sifat kekakuannya tanpa rasa, yang justru berpotensi besar melemahkan diri dan agama. Oleh karenanya beliau (nabi Musa) hendak didesign dengan dunia ilmu yang tak pasti metodologinya, penuh dengan rahasia teka teki dan misteri, bukan sekedar ilmu yang bersifat hitam putih yang mudah dibaca dan dicerna oleh logika akal manusia, pada akhir jawabannya nanti bermuara pada pada pemahaman Ilahiah (ilmu hakikat).
Inilah spiritual power nabi Khidir yang hendak ditransfer kedalam dimensi eksoterik pada diri nabi Musa sebagai penyempurna, sehingga dengan softpower tersebut ia mampu mengkonsentrasikan diri pada aspek nadi cinta dan kasih sayang terhadap seluruh mahluk dan alam raya, dikarenakan hal demikian adalah akumulasi lipatan cinta akan kesan-kesan Pencipta.
Lapisan batin realitas yang nabi khidir ajarkan tak ubahnya air laut yang akan mengambil bentuk lahiriah berupa gelombang-gelombang ombak yang tidak berpotensi merusak hakikat mereka sebagai air laut, dalam artian mengsiergikan sub Iman, Islam & Ihsan dalam satu kesatuan yang mempersatukan keragaman pada titik nadi bhineka tunggal Ika, berkesanggupan menjadi elemen perekat ketunggalan dalam jejaring kebhinekaan.
Senyawa dengan metafora air laut, sebagai visualisasi agama islam yang cinta damai. Maka sepatutnyalah dimensi hakikat esoterik ini dapat diakses dan dialami oleh kebanyakan dari kita. maka selayaknya setiap kita bukan hanya memahami dan memiliki cinta, tetapi juga harus menikmati/merasakan kesan cinta pencipta dalam kesadaran personal dan sosial (shaleh individual & sosial).
Tajuk persatuan nabi Musa As & nabi Khidir As memberikan makna Kesatuan Daratan sebagai
syari’at & Lautan sebagai hakikat
WaAllahu a’lam.
Ahmad Idhofi – Salam Kedamaian
oleh Ahmad Idhofi | Agu 21, 2020 | Hujjah Aswaja, Kajian
Kalau kita telusuri pendapat para ulama, paling tidak kita bisa mendapatkan tiga kecenderungan yang berbeda dalam menanggapi masalah hadits dhaif.
1. Kelompok Pertama
Mereka adalah kalangan yang secara mutlak menolak mentah-mentah semua hadits dhaif. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nashehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya.
2. Kelompok Kedua
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.
Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
- Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
- Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
- Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
- Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
3. Kelompok Ketiga
Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarokdan yang lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata,’Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”
Hadits Dhaif Berbeda dengan Hadits Palsu
Perlu untuk kita ketahui bersama bahwa hadits dhaif itu sendiri berbeda sekali dengan hadits palsu. Hadits dhaif masih dianggap sebagai hadits nabi, hanya saja sebagian ulama dengan kriteria yang sangat ketat menganggap bahwa sebagian perawinya tidak lulus standar ‘adil dan dhabith yang mereka tetapkan. Sementara ulama hadits lainnya, mungkin tidak seketat mereka dalam mencari cacat dan aib seorang perawi hadits.
Dan yang paling terkenal sangat ketat dalam masalah menyeleksi para perawi hadits adalah Al-Imam Al-Bukhari dan juga Al-Imam Muslim. Pantaslah kalau kedua kitab shahih mereka dinobatkan menjadi kitab tershahih kedua dan ketiga setelah Al-Quran. Hal itu lantaran mereka berdua sangat streng, ketat, tajam dan ‘tidak kenal ampun’ dalam upaya mereka.
Konon dari sekitar 50 ribuan hadits yang Al-Bukhari seleksi, hanya tersisa sekitar 5.000-an saja yang dianggap shahih. Itu pun ada banyak hadits yang terulang-ulang. Sehingga angka sesungguhnya hanya sekitar 2.000-an hadits saja.
Rupanya, tidak semua hadits yang dianggap tidak lolos seleksi itu pasti dhaifnya. Sebab di luar hadits shahih yang ditetapkan oleh Al-Bukhari, masih banyak hadits shahih. Contohnya adalah kitab shahih yang disusun oleh Imam Muslim. Banyak sekali hadits yang tidak lolos seleksi oleh Al-Buhari, tapi oleh Imam Muslim diloloskan. Dan berlaku juga dengan sebaliknya.
Kalau pada hadits shahih, para ulama hadits telah berbeda pendapat dalam penentuannya, maka demikian juga halnya dengan hadits dhaif, mereka pun sudah pasti berbeda pendapat juga. Maka sangat mungkin ada sebuah hadits yang dikatakan dhaif oleh si fulan, tetapi tidak didhaifkan oleh ulama lainnya.
Kesimpulannya, khilaf atau beda pendapat itu bukan terjadi di kalangan ahli fiqih saja, tetapi di kalangan ahli hadits pun tidak kalah serunya perbedaan itu.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
oleh Ahmad Idhofi | Agu 21, 2020 | Hujjah Aswaja, Kajian
Benarkah Yahudi dan Nasrani tidak rela dengan Islam? Tafsir QS 2: 120
Inilah ayat yang populer dipakai untuk menjadi dasar hubungan umat Islam dengan non-Muslim. Ayat ini sering dikelirupahami sehingga setiap ada ketegangan antara umat, maka ayat inilah yang dipakai sebagai rujukan. Tapi bagaimana sebenarnya maksud ayat ini:
QS al-Baqarah 120. “orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”
Ayat ini sebenarnya ditujukan khusus untuk Nabi Muhammad dengan penggunaan dhamir “ka” (kamu/engkau). Ini berarti ayat ini tidak dimaksudkan untuk semua umat Islam atau ketidaksukaan Yahudi dan Nasrani itu ditujukan kepada agama islam. Yahudi dan Nasrani yang dimaksud juga terbatas sesuai asbabun nuzul ayat ini, bukan semua Yahudi dan Nasrani.
Kata millah dalam teks al-Qur’an di atas dipahami berbeda-beda oleh para mufassir. Imam al-Thabari menafsirkan millah dengan agama, maka begitulah terjemah al-Qur’an versi Kemenag mengartikan millah. Akan tetapi Tafsir al-Baghawi mengartikannya sebagai al-Thariqah, yaitu jalan. Maka yang dikehendaki non-Muslim itu adalah agar Nabi Muhamad mengikuti jalan mereka (bukan mengikuti agama mereka). Jalan dalam hal apa? dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.
Tafsir Ibn Katsir hanya mengutip sepotong penjelasan dari Imam Thabari, jadi sebaiknya kita langsung me-refer kepada kitab Tafsir al-Thabari, yang menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah:
Nabi Muhammad diminta fokus untuk mengharapkan ridha Allah, dan tidak perlu mencari-cari cara untuk menyenangkan Yahudi dan Nasrani. Apa yang Nabi dakwahkan kepada mereka itu akan mereka tentang karena antara mereka sendiri saling tidak cocok. Nasrani tidak cocok dengan Yahudi, begitu pula sebaliknya. Apa yang Nabi Muhammad dakwahkan pada mereka itu adalah jalan untuk berkumpul bersama dalam kasih sayang di bawah naungan Islam.
Yahudi dan Nasrani tidak dapat bertemu untuk rela padamu wahai Nabi kecuali kalau kamu menjadi seorang Yahudi atau seorang Nasrani. Dan hal itu tidak mungkin. Karena kamu adalah pribadi yang satu. Tidak mungkin kamu menjadi keduanya yang saling bertentangan itu. Jadi, carilah ridha Allah semata dan tidak perlu risau dengan mereka yang tidak rela denganmu.
Tafsir al-Baghawi menceritakan asbabun nuzul ayat ini, biar lebih jelas bagi kita apa peristiwa yang membuat non-Muslim tidak senang dengan jalan yang ditempuh Nabi Muhammad.
Mereka (Yahudi dan Nasrani) meminta Nabi untuk melakukan gencatan senjata dan mereka berjanji akan ikut Nabi. Maka Allah menurunkan ayat ini. Maksud ayat ini adalah: Apabila kamu (Muhammad) melakukan gencatan senjata mereka selamanya tetap tidak akan senang dengan kamu. Mereka meminta gencatan senjata itu hanya sebagai alasan bukan tanda mereka rela kecuali kamu ikut jalan mereka.
Ibnu Abbas berkata: ini dalam kasus Kiblat di mana Yahudi Madinah dan Nasrani Najran mengharap pada Nabi agar ketika shalat menghadap kiblat mereka. Ketika Allah memindahkan kiblat umat Islam ke Ka’bah mereka menjadi putus asa untuk mengharapkan Nabi agar setuju pada kiblat mereka. Maka Allah menurunkan ayat (2:120) ini.
Untuk itu Ibn Abbas mengkhususkan bahwa yang tidak suka selamanya dengan Nabi itu terbatas pada Yahudi di Madinah dan Nasrani di Najran, bukan semua Yahudi dan Nasrani.
Kesimpulan: ayat ini bukan berarti semua Yahudi dan Nasrani benci kepada umat Islam dan menginginkan kita untuk pindah ke agama mereka. Ayat ini sekedar memberitahu Nabi Muhammad untuk fokus dalam berdakwah mencari ridha Allah semata, bukan karena menginginkan kerelaan dari Yahudi di Madinah dan Nasrani di Najran. Ayat yang berupa reminder khusus kepada Nabi Muhammad ini sayangnya sekarang malah sering dipakai untuk menyerang pihak lain.
Wa Allahu a’lam
Nadirsyah Hosen