MWC NU Leuwiliang Aktifkan Rutinitas Kegiatan Lailatul Ijtima’ XXI

MWC NU Leuwiliang Aktifkan Rutinitas Kegiatan Lailatul Ijtima’ XXI

Kerinduan para Pengurus NU Kecamatan Leuwiliang dalam hal ini MWC NU Leuwiliang kepada kegiatan organisasi bersifat ilmiyah dan amaliyah terobati. kamis (27/05) Lailatul ijtima’ kembali digelar setelah dihentikan sementara karena fokus bulan Ramadhan. Jajaran pengurus MWC NU, pimpinan Lembaga dan Banom NU Kecamatan Leuwiliang hadir di acara yang digelar di kediaman Ki Suherman, S.Ag selaku Mustasyar MWC NU Leuwiliang, di Kp.Cibata Ds.Barengkok Kec.Leuwiliang. Teristimewa, lailatul ijtima’ tersebut adalah momen awal pergerakan dalam mewujudkan impian besar Pengurus MWC NU Leuwiliang dalam hal pembangunan gedung Sekretariat MWC NU Leuwiliang dengan branded NU  Resort Center di bawah naungan Yayasan TKN (tis’atu kawaakib nusantara).

Sudah menjadi tradisi, acara lailatul ijtima’ diawali dengan pembacaan tahlil dan doa dipimpin Kyai Rois MWC NU Leuwiliang K.H. Suyatno, S.Ag. Selepas tahlilan semua yang hadir larut dalam kesyahduan lagu Indonesia Raya dan semangat mars Subbanul Wathon. Salawat Nabi Saw juga dilantunkan sebagai bentuk penghormatan dan harapan mendapat Syafaat-Nya.

Gus Samsul Rizal, M.Pd.I selaku Ketua Tanfidziyah MWC NU Leuwiliang menyambut gelaran lailatul ijtima’ ini penuh suka cita. Disebutkannya, lailatul ijtima’ ini menjadi momentum untuk memulai kegiatan di MWC NU Leuwiliang “Insya Allah tahun ini pembangunan Gedung Sekretariat MWC NU Leuwiliang akan segera terealisir, yang mana dimulai dengan pembebasan lahan di daerah jl.Baru Leuwiliang yang dikomandoi oleh Ki Suherman, S.Ag, Gus Ahmad Idhofi, Ki Dodo Murtadho, Ki Galih Pratama, M.Pd.I dan sahabat-sahabat tim pembebasan lahan dan pembangunan Gedung Sekretariat MWC NU Leuwiliang yang dibimbing oleh para Pembina seperti K.H.Helmy Abdul Mubin, Lc, K.H. Fiqih Noufal Hamdzali & Ki Baday, S.Ag ” ucapnya saat memberikan sambutan.

Kemudian acara dilanjutkan dengan acara inti yaitu Lailatu Ijtima’ dengan mengaji kitab Risalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah karya Hadratu Syaikh Mbah Hasyim As’ari selaku pendiri Organisasi Nahdlatul Ulama. Pada pengajian kitab tersebut K.H. Fiqih Naufal Hamdzali memberikan arahan dan nasihat akan garis besar dari inti fasal tentang kewajiban muslimin untuk bertaqlid bagi siapa yang tidak memiliki kapasitas dan otoritas berijtihad, beliau menekankan agar Pengurus MWC NU Leuwiliang untuk turut andil aktif dan responsif dalam mengawasi dan membimbing generasi muda khususnya dan muslimin warga Bogor umumnya yang mana sekarang-sekarang ini penyebaran faham-faham anti madzhab dan kaum ekstimis semakin massif sampai ke pelosok.

Akhir acara Lailatul Ijtima’ XXI tersebut ditutup dengan do’a dan dilanjutkan dengan diskusi hangat terkait tentang penguatan dan konsolidasi kepengurusan MWC NU Leuwiliang dan memperbincangkan staregi solutif bagi permasalahan yang dihadapi warga Kecamatan Leuwiliang. (dov)

Reporter: Moh. Asep Zakariya
Editor : Ahmad Idhofi

Belajar dan Mengajar di Era Medsoss

Belajar dan Mengajar di Era Medsoss

Banyak orang pintar yang jago meneliti dan tulisan hasil risetnya begitu keren, namun ketika ia mengajar di depan kelas, mahasiswa tertidur mendengarkan materi kuliahnya yang menjemukan. Sementara sebaliknya, banyak dosen yang jago ngomong dan membuat perkuliahan terasa segar tapi apa yang dia sampaikan bagaikan memutar ulang lagu yang itu-itu saja –tidak ada data riset baru yang dia sampaikan karena memang dia jarang sekali meneliti. Kurang update, kalau kata anak muda sekarang.

Di dunia akademik, dosen dituntut untuk hebat dua-duanya: riset dan mengajar. Kalau hanya jago riset, ya cukup jadi peneliti saja. Kalau hanya pintar mengajar dan tidak melakukan riset maka cukup mengajar di tingkat SMU saja. Bahkan di kampus yang sudah masuk kategori world class research university sekalipun aspek teaching tetap menjadi perhatian penting.

Salah satu metode yang tengah dikembangkan adalah menjadikan mahasiswa sebagai pusat pembelajaran. Jadi, dosen bukan sekedar menjadi aktor utama dalam lakon monolog tapi aktif menjadi kawan dialog dengan mahasiswa. Kalau cuma monolog ya apa bedanya dosen dengan khatib Jum’at?

Saat ini dalam era digital, mahasiswa bisa dengan mudah mendapatkan info apapun termasuk materi yang diajarkan dalam perkuliahan. Maka metode menghafal sudah banyak ditinggalkan. Kenapa harus menghafal kalau info yang dicari semuanya ada di internet? Ini akhirnya mempengaruhi cara dosen mengajar. Dosen yang hebat itu bukan sekedar mentransfer ilmunya tapi juga mampu menginspirasi mahasiswanya untuk terus mencari pengetahuan di luar kelas. Kalau mahasiswa tertarik dengan penjelasan dosen di dalam kelas, dia akan mencari tambahan info di luar kelas, termasuk ke perpustakaan atau internet.

Yang mengkhawatirkan sekarang adalah mahasiswa generasi media sosial ditengarai tidak lagi rajin membaca literatur. Buku-buku tebal itu dianggap bahasannya sudah berat dan sajiannya tidak interaktif dan atraktif. Walhasil, mahasiswa lebih banyak membaca status facebook atau kultwit di twitter. Banyak pakar yang khawatir bahwa generasi medsos ini adalah generasi yang paling malas baca buku atau hadir di perkuliahan.

Pada satu sisi sajian di media sosial yang disampaikan para dosen dan peneliti itu merupakan hasil ramuan dan ringkasan pengetahuan atau bacaan mereka, namun tentu saja itu tidak akan mendalam dan bagaikan irisan bawang yang disampaikan baru kulit luarnya saja. Sebaiknya sajian yang menarik di medsos mampu menginspirasi untuk pembacanya mencari info lebih lanjut. Jadi, pembaca tdak hanya berhenti di share atau retweet saja.

Candaan saat ini dengan beberapa kolega saya di Monash yang juga aktif di medsos: dosen kini tidak hanya dituntut jago meneliti dan pintar ngomong di depan kelas, tapi juga harus rajin update status di medsos, dan berapa banyak followers di medsos seharusnya juga digunakan untuk menentukan ‘impact factor’ riset kita.

Mudah-mudahan kami para dosen tidak keasyikan main twitter dan facebook sehingga melupakan tugas utama yaitu meneliti dan mengajar, dan kawan-kawan mahasiswa tidak lupa untuk tetap membaca buku-buku tebal selain mengakses medsos.

Ungkapan klasik al-Ilmu fis sudur la fis sutur (ilmu itu tersimpan di dalam dada bukan di kertas), masihkah relevan kini? Yang terjadi sekarang ilmu itu tersimpan di hp dan ditaruh di saku baju depan dekat dada 

Nadirsyah Hosen

TEMANKU SYAFAATKU

TEMANKU SYAFAATKU

“Setemen temene batur iku kang temen temen” (bahasa jawa), artinya “sebaik baiknya teman adalah yang sungguh-sungguh menjaga perteman sampai akhirat”.

Bersyukurlah bila dikaruniai banyaknya teman. Teman-teman yang hadir dalam kehidupan kita itu beragam, ada teman yang mampir hanya untuk mengulang masa kebersamaan (motif; tarikhan), ada yang datang karena untuk keperluan usaha dan pinjaman (motif; tijaaratan/dainan), ada teman yang hadir hanya sekedar menggangu dan menguji kesabaran alias menyebalkan (motif: Waswasan), bahkan tidak sedikit saling sapa dan jumpa karena kepentingan politik semata (motif; siyaasiyan), sebagaimana saat ini hangat terjadi “untuk tipe yang satu ini perlu ekstra hati-hati”. Kemudian ada juga teman karena adanya kesukaan yang sama (motif; hubban): sama-sama suka main bola, suka ngopi dsb.

Saya kira kita gak perlu pilah pilih teman. Bertemanlah dengan siapa saja! adapun nilai-nilai dan pandangan hidup yang muncul dari pertemanan itu baru kita pilah-pilih, karena pola pikir dan pola hidup kita saat ini adalah hasil dari dialektika kita dengan lingkungan/teman, bahkan hasil dialek teman seringkali lebih mendominasi dari pada hasil dialek kita dengan orang tua dan guru. Secara umum teman itu ada tiga tipe: ada yang seperti 1).داء/penyakit, 2).دواء/obat & 3).مائدة/makanan,hidangan”. Dari ketiga tipe tersebut, manakah tipe yang banyak hadir dalam kehidupan kita? Sila renungkan!

Dengan banyaknya teman secara tidak langsung membuka wawasan & kedewasaan kita dalam berpikir, membangun network (sillaturraahim, sillatulilmi wa sillatulmaal), ada prakata baik yang pernah saya dengar “Untuk bertahan hidup, kita memang perlu bekerja keras… Tapi untuk menuju tahapan hidup yang lebih tinggi lagi”, kita perlu membangun relasi, semakin banyak relasi, maka semakin besar pula kemungkinan untuk sukses” inilah yang dinamakan kumpulan aksi, kreasi dan kolaborasi. Kemudian point yang tak kalah penting dari manfaat banyaknya teman adalah “edukasi”, artinya orang/teman adalah cermin (المرء مرءة) kita diajak belajar mengenal banyak karakter dari berbagai latar belakang agar lebih memahami konsep kehidupan, hal ini selaras dengan perintah Tuhan.

Finaly, mencari teman baik/shalih itu susah, tapi melepaskannya sangat mudah, terlebih menjelang musim PILEG & PILPRES yang sarat angkara, tak sedikit antar pendukung saling mensucikan dan mendewakan pilihannya dan menodai pilihan selainnya yang tidak sesuai dengan nafsunya, narasi agama tak lagi menyentuh kalbunya, spektrum logika tersekat lava nafsunya, hingga jalinan pertemanan tergadai dengan begitu murah.

Oleh karenanya, mari bergaul sesering mungkin dengan teman yang selalu membangun komunikasi aura positif dan produktif, selalu mendorong untuk selalu komunikasi secara intens terhadap sang Khalik. Hal yang harus diingat adalah bilamana kita memiliki teman-teman yang shalih maka “mereka akan menjadi syafa’at kita di hari kiamat”, Aamiin.

Penyesalan salah gaul/teman dalam surat Al-Furqan;

 يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلانًا خَلِيلا (٢٨) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلإنْسَانِ خَذُولا (٢٩)

“Wahai, Malanglah/celaka aku! Sekiranya aku tidak menjadikan si dia itu teman karib. Sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan ketika itu telah datang kepadaku.”

Wallahu a’lam.

By: Ahmad Idhofi

Berpikir Tertib ala Pesantren

Berpikir Tertib ala Pesantren

Mengkaji pendapat ulama dalam mazhab itu membuat kita mengerti cara berpikir yang tertib dan sistematis. Tidak serampangan asal comot opini atau fatwa ulama. Para Kiai di pesantren terlatih untuk mengikuti cara berpikir yang ilmiah ini –tidak sebagaimana cibiran kalangan tertentu seolah para Kiai itu kuno, kolot, dan tidak ngilmiah.

Kitab Fathul Mu’in dengan hasyiah-nya I’anatut Thalibin, sebuah kitab mazhab Syafi’i yang banyak dipelajari dan dipedomani di pesantren-pesantren membicarakan bagaimana seharusnya bermazhab.

Dalam kitab itu disebutkan bahwa dalam bermazhab (demikian juga dalam memberikan fatwa dan memutuskan hukum di pengadilan), pendapat yang harus dipedomani adalah pendapat yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.

Akan tetapi jika keduanya berbeda pendapat, pendapat Imam Nawawi-lah yang harus dijadikan pedoman. Apabila tidak ditemukan pendapat Imam Nawawi, barulah dipedomani pendapat Imam Rafi’i, lalu pendapat yang dinyatakan rajih (kuat) oleh sebagian besar ulama, dan seterusnya.

Dari sisi kitab, jika kitab-kitab karya Imam Nawawi saling berlainan antara yang satu dengan yang lain maka – secara berturut-turut – kitab yang harus dijadikan rujukan ialah kitab al-Majmu’, at-Tahqiq, at-Tanqih, ar-Raudhah, al-Minhaj, dan seterusnya. Cara pandang dan sikap seperti itu terdapat pula di lingkungan mazhab lain.

Lantas bagaimana kalau terjadi perbedaan riwayat dalam memahami hasil ijtihad Imam Syafi’i? Maka Imam Nawawi dalam kitab al-Minhaj pun menjelaskan berbagai istilah yang dipakai dalam mazhab Syafi’i. Sekedar menyebutkan contoh saja:

  1. Al-Adzhar ( الأظهر) : yaitu pendapat imam Syafi’i yang lebih diunggulkan ketika argument beliau sama-sama kuat antara dua pendapat atau lebih,
  2. Al-Masyhur (المشهور ) : pendapat imam Syafi’i yang diunggulkan (al-rajih) dari beberapa pendapat sang Imam yang argumentasinya lemah, alias dalil-dali dari pendapat yang dikatakan sebagai masyhur itu kuat dan dalil-dalil yang menyimpulkan hukum yang lain lemah, yaitu al-gharib ( الغريب ).
  3. Al-Ashah ( الأصح ) : Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’iyyah, dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama kuat dari segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan al-ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi’i yyah yang tidak kuatnya disebut dengan ash-shahih.
  4. Al-Nash ( النص ) : adalah pendapat atau ucapan sang Imam as-Syafi’i, sedangkan lawan dari al-nash ( النص ) yaitu dhoif (ضعيف ) atau qoul mukhorroj ( قول مخرج ), maka lawan dari al-nash ( النص ) tidak boleh diamalkan serta tidak boleh juga disandarkan (pendapat itu) kepada sang Imam kecuali dengan memberikan catatan.

Ini sebabnya anda tidak bisa dianggap pakar dalam bidang ilmu apapun kalau belum berpikir secara runtut, tertib dan sistematik sesuai disiplin ilmu tersebut. Itu yang membuat para Kiai di pondok pesantren sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa, tidak seperti para mufti di facebook dan mufti medsos lainnya 

Kita ini belum ada seujung kuku ilmunya para Kiai. Bahkan saat berbeda pandangan dengan para Kiai pun kita tidak boleh su’ul adab. Mari kita doakan semoga Allah merahmati para Kiai, masyayikh dan guru-guru kita dan kita diberi ‘cipratan‘ cahaya dan rahasia ilmu-ilmu mereka. Amin ya Allah

Tabik,

Nadirsyah Hosen

Berdakwah dan Berfatwa hanya dengan Modal Satu Ayat?

Berdakwah dan Berfatwa hanya dengan Modal Satu Ayat?

Banyak ustadz dan da’i kagetan yang mendadak menjadi ahli fatwa yang menghukumi halal-haram, bid’ah atau sunnah, dan mana yang sesat atau selamat. Mereka merasa cukup paham satu ayat dan sudah bisa ber-istinbathmengeluarkan fatwa. Alasan mereka adalah Hadis Nabi SAW yang gemar mereka kutip, ballighu ‘anni walau ayat, sampaikan dariku meski hanya satu ayat.

Bagaimana sebenarnya maksud Hadis Nabi tersebut?

٣٢٠٢ – حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّحَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي كَبْشَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Telah bercerita kepada kami Abu ‘Ashim adl-Dlahhak bin Makhlad telah mengabarkan kepada kami Al Awza’iy telah bercerita kepada kami Hassan bin ‘Athiyyah dari Abi Kabsyah dari ‘Abdullah bin ‘Amru bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”.

Hadis dari kitab shahih bukhari (hadis nomor 3202) di atas biasanya dikutip tidak utuh, makanya saya cantumkan lengkap di atas. Hadis tersebut juga tercantum dalam Sunan Abi Dawud, Hadis Nomor 3177; Sunan al-Tirmidzi, Hadis Nomor 2593; dan Musnad Ahmad, Hadis Nomor 6198.

Tiga kitab Hadis yang pertama (Bukhari, Abu Dawud dan al-Tirmidzi) mencantumkannya dalam bab Bani Israil. Kenapa? Nah di sini clue penting yang menjadi hilang kalau Hadis di atas tidak dikutip secara lengkap seperti yang dilakukan para da’i dan ustadz dadakan itu.

  • Pertama, Hadis di atas bicara soal penyampaian informasi. Rasul menjelaskan ayat yang beliau baru terima tidak selalu didepan semua sahabat. Adakalanya saat menerima wahyu Rasul didampingi oleh 2-3 sahabat. Atau saat memberikan penjelasan di masjid, ada sahabat yang tidak hadir. Ini sebabnya dalam riwayat lain Nabi bersabda “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir” (HR Bukhari-Muslim). Inilah konteks Hadis ‘sampaikan dariku meski satu ayat’. Sahabat diminta menyampaikan penjelasan Rasul kepada yang tidak hadir atau tidak mendengar langsung dari Rasul agar mereka juga tahu apa penjelasan dari Rasul. Jadi, meski seorang sahabat hanya mendengar satu ayat, tapi kalau satu ayat itu tidak diketahui oleh yang lain, sampaikanlah. Begitulah penjelasan Ibn Hajar dalam Fathul Bari yang men-syarah-i Hadis di atas.
  • Kedua, Hadis di atas juga mengabarkan bahwa info yang disebar itu bukan hanya dari Rasul tapi juga dari bani israil. Mungkin ini sebabnya hadis ini suka dipangkas karena sudah menyebut soal bani Israel. Kalau konsisten mau berdalil dengan Hadis ini maka jelas kita harus sampaikan juga info lainnya termasuk dari bani israil. Jangan menyembunyikan info untuk kepentingan tertentu. Hadis di atas sesungguhnya tengah mengajarkan kita tentang pentingnya memberikan keseimbangan info. Mentang-mentang tidak suka dengan kelompok tertentu maka dalil bantahan mereka disembunyikan. Ini tidak benar karena info dari bani Israel saja kata Nabi tidak mengapa diceritakan, sebagaimana para sahabat menceritakan penjelasan ayat dari Nabi. Di sinilah tingginya muatan moral dari Nabi masalah penyebaran informasi ini.
  • Ketiga, ada satu larangan dalam Hadis di atas, yaitu kita jangan bohong atas nama Rasul atau mengada-ngadakan cerita bahwa Rasul bilang begini dan begitu padahal itu tidak benar. Melakukan dusta atas nama Rasul ini akan dijamin masuk neraka seperti disebutkan dalam bagian akhir Hadis di atas.

Walhasil, dengan membaca teks lengkap dan memahami konteks serta membaca syarh Hadis tersebut, maka kita akan memperoleh pemahaman yang menyeluruh bahwa Hadis di atas bukan bermakna boleh berdakwah apalagi mengeluarkan fatwa cuma dengan modal satu ayat. Menyampaikan berita/info itu tidak sama dengan menyampaikan kandungan atau tafsir ayat al-Qur’an. Ibaratnya, Bagian Humas dengan Bagian Litbang itu jelas berbeda. Yang satu cuma meneruskan info yang ada, dan yang satu lagi mengkaji dan meneliti info tersebut.

Jelas Hadis tersebut kalau dibaca secara lengkap tidak bicara dalam konteks berdakwah apalagi memutus perkara halal-haram, atau dipakai untuk menyalah-nyalahkan orang lain yang berbeda pemahaman. Hadis di atas sejatinya bicara soal penyampaian, penyeimbangan dan akurasi informasi. Wa allahu a’lam bi al-shawab

Tabik,

Nadirsyah Hosen

Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela dengan Islam?

Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela dengan Islam?

Benarkah Yahudi dan Nasrani tidak rela dengan Islam? Tafsir QS 2: 120

Inilah ayat yang populer dipakai untuk menjadi dasar hubungan umat Islam dengan non-Muslim. Ayat ini sering dikelirupahami sehingga setiap ada ketegangan antara umat, maka ayat inilah yang dipakai sebagai rujukan. Tapi bagaimana sebenarnya maksud ayat ini:

QS al-Baqarah 120. “orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”

Ayat ini sebenarnya ditujukan khusus untuk Nabi Muhammad dengan penggunaan dhamir “ka” (kamu/engkau). Ini berarti ayat ini tidak dimaksudkan untuk semua umat Islam atau ketidaksukaan Yahudi dan Nasrani itu ditujukan kepada agama islam. Yahudi dan Nasrani yang dimaksud juga terbatas sesuai asbabun nuzul ayat ini, bukan semua Yahudi dan Nasrani.

Kata millah dalam teks al-Qur’an di atas dipahami berbeda-beda oleh para mufassir. Imam al-Thabari menafsirkan millah dengan agama, maka begitulah terjemah al-Qur’an versi Kemenag mengartikan millah. Akan tetapi Tafsir al-Baghawi mengartikannya sebagai al-Thariqah, yaitu jalan. Maka yang dikehendaki non-Muslim itu adalah agar Nabi Muhamad mengikuti jalan mereka (bukan mengikuti agama mereka). Jalan dalam hal apa? dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.

Tafsir Ibn Katsir hanya mengutip sepotong penjelasan dari Imam Thabari, jadi sebaiknya kita langsung me-refer kepada kitab Tafsir al-Thabari, yang menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah:

Nabi Muhammad diminta fokus untuk mengharapkan ridha Allah, dan tidak perlu mencari-cari cara untuk menyenangkan Yahudi dan Nasrani. Apa yang Nabi dakwahkan kepada mereka itu akan mereka tentang karena antara mereka sendiri saling tidak cocok. Nasrani tidak cocok dengan Yahudi, begitu pula sebaliknya. Apa yang Nabi Muhammad dakwahkan pada mereka itu adalah jalan untuk berkumpul bersama dalam kasih sayang di bawah naungan Islam.

Yahudi dan Nasrani tidak dapat bertemu untuk rela padamu wahai Nabi kecuali kalau kamu menjadi seorang Yahudi atau seorang Nasrani. Dan hal itu tidak mungkin. Karena kamu adalah pribadi yang satu. Tidak mungkin kamu menjadi keduanya yang saling bertentangan itu. Jadi, carilah ridha Allah semata dan tidak perlu risau dengan mereka yang tidak rela denganmu.

Tafsir al-Baghawi menceritakan asbabun nuzul ayat ini, biar lebih jelas bagi kita apa peristiwa yang membuat non-Muslim tidak senang dengan jalan yang ditempuh Nabi Muhammad.

Mereka (Yahudi dan Nasrani) meminta Nabi untuk melakukan gencatan senjata dan mereka berjanji akan ikut Nabi. Maka Allah menurunkan ayat ini. Maksud ayat ini adalah: Apabila kamu (Muhammad) melakukan gencatan senjata mereka selamanya tetap tidak akan senang dengan kamu. Mereka meminta gencatan senjata itu hanya sebagai alasan bukan tanda mereka rela kecuali kamu ikut jalan mereka.

Ibnu Abbas berkata: ini dalam kasus Kiblat di mana Yahudi Madinah dan Nasrani Najran mengharap pada Nabi agar ketika shalat menghadap kiblat mereka. Ketika Allah memindahkan kiblat umat Islam ke Ka’bah mereka menjadi putus asa untuk mengharapkan Nabi agar setuju pada kiblat mereka. Maka Allah menurunkan ayat (2:120) ini.

Untuk itu Ibn Abbas mengkhususkan bahwa yang tidak suka selamanya dengan Nabi itu terbatas pada Yahudi di Madinah dan Nasrani di Najran, bukan semua Yahudi dan Nasrani.

Kesimpulan: ayat ini bukan berarti semua Yahudi dan Nasrani benci kepada umat Islam dan menginginkan kita untuk pindah ke agama mereka. Ayat ini sekedar memberitahu Nabi Muhammad untuk fokus dalam berdakwah mencari ridha Allah semata, bukan karena menginginkan kerelaan dari Yahudi di Madinah dan Nasrani di Najran. Ayat yang berupa reminder khusus kepada Nabi Muhammad ini sayangnya sekarang malah sering dipakai untuk menyerang pihak lain.

Wa Allahu a’lam

Nadirsyah Hosen

Benarkah Muslim itu Harus Keras Terhadap Orang Kafir? Tafsir Surat al-Fath:29

Benarkah Muslim itu Harus Keras Terhadap Orang Kafir? Tafsir Surat al-Fath:29

Surat al-Fath berjumlah 29 ayat yang semuanya turun dalam konteks perjanjian Hudaibiyah. Oleh karena itu, memahami ayat terakhir dalam surat ini juga tidak bisa sepotong-sepotong, karena kita harus memahami keseluruhan konteks ayat-ayat sebelumnya, plus pemahaman utuh tentang perjanjian Hudaibiyah. Inilah yang dilakukan oleh Imam al-Alusi, pengarang Tafsir Ruhul Ma’ani yang harus berpanjang lebar menceritakan peristiwa Hudaibiyah sebelum menjelaskan potongan ayat 29 di bawah ini:

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…

Kesalahpahaman akibat kegagalan memahami pesan utuh ayat ini sering terjadi dan berpotensi menimbulkan gesekan sosial di masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia. Kita saksikan sebagian saudara kita yang pasang wajah kusam dan angker kepada non-Muslim atau juga kepada sesama Muslim yang sudah mereka anggap kafir. Tak ada senyum dan tak ada ramah tamah. Mereka bahkan menyalahartikan ayat ini sebagai kewajiban bersikap kasar kepada orang kafir karena kata “keras” dipahami sebagai permusuhan.

Sebagian saudara-saudara kita juga bersikap mencurigai kebaikan orang kafir dan menoleransi keburukan orang Islam karena memahami ayat di atas secara harfiah tanpa memahami konteksnya. Pendek kata, semua tindakan orang kafir dicurigai dan ditolak, dan semua hal yang tidak benar dari sesama Muslim diterima begitu saja

Konteks ayat di atas adalah suasana ketegangan, bukan ayat di masa tenang atau damai. Jadi, memberlakukan ayat itu dalam konteks keseharian kita berinteraksi sosial tentu kurang pas. Ketika Rasulullah SAW bermimpi memasuki kota Mekkah sebagai sebuah kemenangan yang dekat (fathan qariban), maka para sahabat dan Rasul bersama-sama hendak memasuki kota Mekkah berhaji pada tahun keenam hijriah. Singkat cerita, kaum kafir Mekkah menghadang dan memaksa Rasulullah dan sahabat kembali ke Madinah lewat sebuah perjanjian di daerah Hudaibiyah, dimana menurut para sahabat utama seperti Umar bin Khattab, perjanjian tersebut amat sangat merugikan umat Islam

Sejumlah orang munafik mengambil kesempatan untuk menimbulkan kegaduhan, seperti terekam dalam ayat-ayat awal surat al-Fath. Allah pun menenangkan umat Islam yang seolah patah semangat bahkan ada pula yang mempertanyakan kebenaran mimpi Rasul sebelumnya. Surat al-Fath turun dalam suasana yang demikian. Di akhir surat, Allah menegaskan kembali kebenaran mimpi Rasul, kepastian kemenangan (yang terbukti saat Fathu Makkah) dan kebenaran bahwa Muhammad itu seorang utusan Allah. Di ayat 29 inilah Allah seolah hendak mengatakan: “jangan kalian ribut dan ragu sesama kalian, kalian harus saling berkasih sayang dan berlemah lembut diantara kalian, dan sifat keras dan tegas itu seharusnya ditujukan pada orang kafir bukan pada sesama kalian!”.

Ibn Abbas menafsirkan ayat 29 surat al-Fath yang sedang kita bahas ini khusus untuk para sahabat yang menyaksikan peristiwa Hudaibiyah. Sahabat Nabi yang terkenal cerdas luar biasa ini menafsirkan sebagai berikut:

Muhammad itu utusan Allah, tidak seperti kesaksian Suhail bin Amr (yang memaksa Rasul untuk menghapus kalimat MuhammadRasulullah dalam naskah perjanjian Hudaibiyah dan diganti dengan Muhammad bin Abdullah saja); dan orang yang bersama Muhammad, yaitu Abu Bakar, ia termasuk orang yang pertama kali mengimani kerasulan Muhammad; keras terhadap orang kafir (maksudnya ini merujuk kepada Umar bin Khattab sebagai pembela Rasulullah), berkasih sayang sesama mereka (ini ditujukan kepada Utsman bin Affan). Lanjutan ayatnya: Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud (ini menyifatkan Ali bin Abi Thalib); mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya (ini menyifatkan Thalhah dan Zubair).

Al-Samarqandi dalam kitab tafsirnya Bahrul Ulum memberi penafsiran yang mirip dengan Tafsir Ibn Abbas di atas. Yang dimaksud bersama Nabi itu adalah Abu Bakar, yang keras itu Umar, yang berkasih sayang itu menyifatkan Utsman dan yang rajin ruku’ dan sujud itu Ali, sementara yang mencari karunia Allah dan keridhaannya itu adalah Zubair dan Abdurrahman bin Awf.

Penafsiran model Ibn Abbas di atas juga dikonfirmasi oleh Imam al-Alusi. Meski demikian beliau juga menyebutkan bahwa jumhur ulama menganggap penyifatan ini tidak hanya khusus untuk pihak tertentu yang menyaksikan peristiwa Hudaibiyah tapi merupakan sifat semua sahabat Nabi. Kalaupun kita terima pendapat jumhur ini, namun ini tidak berarti bahwa saat ini kita dibenarkan bersikap garang dan bermusuhan kepada orang kafir, karena semua ahli tafsir sepakat asbabun nuzul ayat di atas terikat erat dengan konteks ketegangan peristiwa Hudaibiyah.

Allah telah berfirman dalam Surat al-Mumtahanah ayat 8 mengatur relasi dengan pihak kafir:

Allah tidaklah melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Itu artinya, Muslim tidak dilarang berbuat baik kepada tetangga maupun kawan sepermainan atau kolega di kantor yang merupakan non Muslim. Dua bukti lain bisa kita lihat dalam sejarah Rasulullah. Pertama, ketika ayat assyidda’u ‘alal kuffar (al-Fath: 29) di atas turun, justru Rasulullah sedang bersikap ‘lunak’ kepada orang kafir dalam perjanjian Hudaibiyah bukan sedang memerangi mereka.

Kedua, ketika peristiwa Fathu Makkah terjadi, Rasulullah juga bersikap lemah lembut kepada penduduk Makkah, bahkan Abu Sufyan pun mendapatkan perlindungan dari Rasulullah. Itulah sebabnya Rasulullah disebut sebagai al-Qur’an berjalan, karena beliau tidak mengikuti hawa nafsu, amarah maupun dendam permusuhannya, tetapi benar-benar merupakan perwujudan rahmat bagi semesta alam.

Wa ma yanthiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyu yuha (tidaklah Ia bicara berdasarkan hawa nafsunya melainkan apa-apa yang diwahyukan kepadanya) QS 53:3-4

Tabik,

Nadirsyah Hosen

Belajar Sunnah Nabi dari Imam Sayfuddin al-Amidi

Belajar Sunnah Nabi dari Imam Sayfuddin al-Amidi

Suatu malam Sayfuddin bermimpi berkunjung ke rumah Imam al-Ghazali. Dalam mimpi itu beliau seolah diberitahu untuk memasukinya dan melihat peti. Dia pun membukanya dan melihat jenazah Imam al-Ghazali. Lalu Sayfuddin menyingkap kafan yang menutupi wajahnya dan menciumnya.

Sayfuddin ini kelak dikenal dengan nama Imam Sayfuddin al-Amidi (1156-1233). Semula beliau mengikuti mazhab Hanbali sewaktu beliau masih kecil sesuai dengan lingkungannya saat itu. Kemudian beliau berguru pada Syekh Abul Qasim Ibn Fadlan yang bermazhab Syafi’iSayfuddin Amidi juga lebih cocok dengan aqidah Asy’ariyah. Maka jadilah beliau seorang ulama terkemuka dari Mazhab Syafi’i yang Sunni Asy’ari. Dari Baghddad, beliau pindah ke Mesir dimana beliau mendapati fitnah dari sebagian pihak yang menuduhnya sesat, kemudian beliau pindah ke Damaskus dan menulis kitab Ushul al-Fiqh yang sangat terkenal, yaitu kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kitab ini merangkum dan menjelaskan masalah dalil dan kaidah istinbath dari empat kitab utama: al-‘Amd, al-Mu’tamad, al-Burhan dan al-Mustasfa.

Nama Kitab terakhir, al-Mustasfa, merupakan karya Imam al-Ghazali. Inilah pengaruh mimpi spiritual Sayfuddin al-Amidi yang mencium jenazah Imam al-Ghazali. Beliau sendiri menuturkan: “selepas mimpi itu aku berkata pada diriku sendiri untuk mengambil perkataan Imam al-Ghazali. Kemudian dalam waktu singkat aku hafal isi kitab al-Mustasfa karya Imam al-Ghazali”.

Murid Imam al-Amidi yang sangat terkenal adalah Syekh Izzudin Abdus Salam. Beliau berkata tentang gurunya: “Tidak saya pelajari kaidah-kaidah pembahasan kecuali dari Imam al-Amidi.” Atau di kesempatan lain, “Tidak saya dengar pengajaran yang paling bagus mengenai kitab al-Wasitnya Imam al-Ghazali seperti yang disampaikan oleh Imam al-Amidi” dan ungkapan-ungkapan senada lainnya yang mengagumi Imam al-Amidi. Syekh Izzudin ini pada masanya digelari Sulthan-nya ulama.

Salah satu pembahasan penting dalam kitab ushul al-fiqh karya Imam al-Amidi adalah mengenai kedudukan Sunnah Nabi. Beliau mengemukakan bagaimana para pakar Ushul al-Fiqh berbeda pandangan mengenai perbuatan Nabi yang menjadi dalil syar’i. Kemudian beliau memaparkan pandangannya.

Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan hal biasa yang dilakukan manusia pada umumnya seperti makan, minum, berdiri dan duduk merupakan perkara mubah yang tidak memiliki konsekuensi hukum.

Saya dapat tambahkan, hal ini dikarenakan semua manusia melakukannya dan Nabi Muhammad juga terikat dengan budaya setempat dalam cara makan dan minum. Ini boleh jadi masuk ke dalam kategori etika saja, bukan kategori hukum. Mengikutinya dibenarkan, tapi tidak menirunya tidak akan berdosa. Saya bisa beri contoh misalnya cara makan Rasul dengan 3 jari memang cocok dengan menu dan pola makan di Arab sana, tapi agak sulit diterapkan di tanah air pas lagi makan sayur lodeh atau di negeri lain yang makan pakai sumpit.

Kedua, ada perbuatan yang khususiyah dilakukan oleh Nabi. Perbuatan yang bagi umatnya sunnah, tapi wajib dilakukan Nabi seperti shalat tahajud. Atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh umatnya tapi secara khusus dibenarkan untuk Nabi, seperti menikahi perempuan lebih dari empat, dan berpuasa wishal (terus menerus tanpa berbuka). Sebagai manusia khusus, tentu ada amalan ataupun perlakuan khusus juga untuk beliau SAW. Khususiyah ini tidak berlaku untuk umat Islam dan karenanya tidak masuk kategori hukum.

Ketiga, perbuatan Nabi yang secara tegas dijelaskan sebagai pelaksanaan ataupun penjelasan terhadap ibadah seperti shalat dan haji berdasarkan dalil syar’i yang wjaib dijadikan pedoman oleh umat Islam. Misalnya Rasul bersabda: “ambillah cara manasik hajimu dari saya” atau “shalatlah kamu sebagaimana aku shalat”. Perbuatan Rasul dalam hal ibadah kategori inilah yang memiliki konsekuensi hukum.

Penjelasan Imam al-Amidi ini sangat penting untuk meletakkan secara proporsional nilai etika yang masuk kategori sunnah (perbuatan atau tradisi) Rasul dan mana contoh sunnah Rasul yang masuk kategori hukum, dan karenanya bisa bermakna wajib, mandub, atau mubah. Artinya tidak semua hal yang dianggap sunnah Nabi itu hukumnya wajib kita laksanakan seperti yang dijelaskan di atas.

Di atas etika dan hukum ada kategori yang paling puncak yaitu cinta. Mengikuti Rasul berdasarkan kecintaan kita kepada beliau SAW. Ini sudah melampaui kategori yang dipaparkan Imam al-Amidi. Ini hubungan khusus yang hanya bisa dinilai dengan sebuah rintihan dalam hening.

Nadirsyah Hosen

Fanatisme Buta menjelang pilpres 2024

Fanatisme Buta menjelang pilpres 2024

وَجَدْتُ موَدَّةَ الأعمى، وَعَدَاوَةَ الْعَاقِلِ، أُسْوَةً فِي الْخَطَرِ

Dukungan dari pendukung yang buta/fanatik sama bahayanya dengan permusuhan dari musuh yang brilian”. ~Sahl bin Harun.

Nuansa kampanye PILPRES 2024 sudah mulai bergulir, riak dan ombak terdengar berarak keberbagai jalan dataran setapak, rukun keluarga dan tetangga kini mulai terusik dan tercabik – cabik, tiupan angin fanatik buta kian terasa kencang dan tegang di era politik post truth (era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran dengan cara memainkan emosi dan perasaan) yang kian meradang, tidak sedikit orang sudah khilap dan kalap membela jagonya dengan tanpa malu memperkosa norma sosial dan norma agama, menceraikan akal sehat tanpa melihat dan berpikir ulang “äpakah ini yang Allah sukai?”. Rasa simpati dan empati dalam spektrum ngaji rasa sebagai pondasi agama telah hilang tergadaikan. Tahun politik acapkali membutakan ikatan persaudaraan dan membuat tuli pendengaran cinta dan citra sosial yang dulu telah terbangun oleh para leluhur.

Fenomena musiman tersebut tak aneh lagi bagi para penggiat bijak bestari kehidupan (orang-orang arif). Mereka sudah faham manakala memasuki musim politik maka suara genderang sumbing berbunyi lantang bak perang, hoaxs politik bertebaran baik dari peserta politik, timses politik, agen politik dan para fans yang sangat fanatik, konten hoaxs politik bisa berisi kampanye negatif (membombardir masyarakat tentang kesalahan dan kejelekan lawan politik yang tidak benar atau belum pasti) ataupun kampanye hitam (menuduh lawan dengan tuduhan palsu atau belum terbukti) dan lain sebagainya. Lebih mirirs lagi manakala ada ustadz – ustadzan dan ilmuan-ilmuanan (gadungan) yang di karbit oleh mesin politik makin bertebaran untuk melatih lidah orang-orang awam agar lincah menyayikan lagu – lagu hinaan (saling share narasi negatif, foto ataupun video di berbagai platform media sosial yang bernada kebencian, menakut – nakuti dengan cara mengaduk – aduk emosi dan perasaan publik), dan juga melakukan tarian merendahkan pada orang yang berbeda pilihan dengan liukan – liukan yang berpotensi memecah belah persaudaraan dan persatuan dengan dalih inilah suara Tuhan.

Tempat-tempat khusus yang sakralpun hampir tak luput dari bidikan oleh sebagian para politikus rakus yang telah merekrut para calo/buzzer offline dan online musiman yang ia sebarkan di tengah kota dan pelosok pedesaan, mulai dari lembaga kemasyarakatan, lembaga pendidikan sampai lembaga keagamaan, disana telah terpasang ranjau – ranjau kekuasaan oplosan temporal, gaji dari profesi buzzer musaiman ini memang sangat menggiurkan mulai dari Rp 1 juta – 50 jutaan (menurut penelitian Oxford University). Dalam forum-forum kajian agamapun tak sedikit dari para tokoh agama mulai bertambah peran menjadi dalang wayang perpolitikan, bahkan ada sekelas guru/ustadz yang dinilai sebagai tokoh pun tidak sedikit bisa memaki dan menghardik lawan bicaranya yang dinilainya berbeda pandangan dengan kata – kata aji keabnormalan menurut adat ketimuran, jika sang ustadz berkata agama dapat mempersatukan umat dan menguatkan bangsa, tetapi di sisi lain ia juga telah melakukan pelanggaran ajaran agama yang memesankan agar selalu memupuk dan mengutamakan persaudaraan diatas wayang perpolitikan yang ia nobatkan sebagai jagoan tanpa noda kekurangan. Mungkinkah tidak memahami bahwa audiens’nya itu beragam dan mungkin lebih dekat dengan Tuhan? dengan tanpa malu ia sebarkan virus-virus kebencian dengan argumen data-data bohong ataupun lemah di tangan yang diyakini paling valid dan relevan, dengan latahnya ia lakukan olokan dan cacian kepada calon yang bukan pilihannya tanpa ragu dan malu. Apakah lupa dengan status dan tugasnya sebagai agamawan?

Ada yang perlu difahami oleh kita bersama bahwa dalam disiplin ilmu agama dan ilmu sosial, ikhtilaf (perbedaan pandangan) adalah sunnatullah dan hal tersebut wajar dan bernilai keberkahan bagi kita hambaNya yang berfikir. Sebagai contoh perdebatan antara ulama ataupun ilmuan biasanya terletak pada perbedaan sudut pandang ataupun pada sisi metodologinya terhadap suatu fakta, mereka yang sejati sudah sangat terbiasa menyandingkan sudut pandang mereka tanpa memaksakan kehendak, ucapan dan tindakan mereka saat beradu argumen dari sudut pandang itu sangat mencerahkan dan mencerdaskan bagi jamaahnya, bukan malah sebaliknya yang malah mengkultuskan/fanatik dan memusuhi yang berbeda pilihan. Hal lain juga perlu dicatat adalah suhu politik itu dimanapun akan seperti itu hangat lalu memanas, maka perlu disadari dan disikapi dengan arif dan bijaksana, sedangkan kuncinya itu ada ditangan kita semua. Dengan demikian perlu diketahui dan difahami agar kita tidak bertindak gegabah dalam memilih. Pemilih di Indonesia bila diklasifikasikan itu terdapat 3 tipe :

1.Pemilih Emosional

Pemilih yang memiliki hubungan emosional sangat kuat dengan identitas yang membentuk dirinya sejak lahir (paham ideologis, agama, dan budaya). Pemilih emosional terbagi dua: 1).Pemilih aktif – emosional : Sangat mudah terprovokasi dan sangat cepat merespons isu identitas, 2).Pemilih pasif – emosional: pemilih yang tidak menampakkan emosinya secara terang benderang.

2. Pemilih Rasional – Emosional

Pemilih yang cenderung akan diam ketika melihat isu yang bersifat agama, identitas dan simbolik digaungkan karena mereka membutuhkan waktu untuk memproses informasi tersebut. Merupakan tipe yang punya pandangan konservatif secara nilai, tapi ia lebih rasional dalam mengambil tindakan.

3. Pemilih Rasional

Pemilih yang mengesampingkan faktor emosional dalam memaknai  suatu informasi. Kelompok ini termasuk dalam kategori kritis dan skeptis, tipe ini yang paling ideal dalam politik elektoral.

Dengan demikian, tidaklah cukup memilih dengan cerdas, namun juga harus dibarengi hati nurani yang bersumber dari suara Ilahi (minta petunjuk Allah dengan shalat) mana yang terbaik menurutNya, karena setiap pilihan itu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing – masing, junjung tinggi respek terhadap lain pilihan dan komit terhadap apa yang diyakini, tanpa menjelek – jelekkan, jelaskan dengan santun atau diam !!!

Maksud dari memilih dengan cerdas itu paling tidak menggunakan ilmu filsafat untuk berfikir secara tertib, benar, luas lagi mendalam, karena ia berisi ontologi (yang membicarakan hakikat sesuatu), epistemologi (yang membicarakan cara memperoleh sesuatu), dan aksiologi (yang membicarakan manfaat sesuatu) dan juga diperkuat dengan ilmu alat dari ulama yaitu kaidah fiqih sosial, sebagai contoh menggunakan kaidah:

إذا تعارض المفسدتان رعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما

Ketika dihadapkan pada dua mafsadah (kerusakan), maka tinggalkanlah mafsadah yang lebih besar dengan mengerjakan yang lebih ringan (keburukannya)”.

واعلم أن تقديم الأصلح فالأصلح ودرء الأفسد فالأفسد مركوز في طبائع العباد … ولا يُقدَّمُ الصالح على الأصلح إلا جاهل بفضل الأصلح أو شقيٌ متجاهل لا ينظر إلى ما بين المرتبتين من التفاوت

“Ketahuilah, mendahulukan sesuatu yang lebih maslahat demi kemaslahatan yang lebih besar, menolak kemafsadatan (kerusakan) karena adanya kemafsadatan yang lebih besar lagi adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia… Tidaklah mendahulukan suatu maslahat demi meninggalkan kemaslahatan yang lebih besar kecuali hanya orang yang bodoh, tidak mengetahui pentingnya kemaslahatan yang lebih besar, atau ia orang yang celaka dan membutakan diri, tidak mau melihat kepada perbedaan dua derajat kemaslahatan itu.” (‘Izz al-Dîn ibn Abdu al-Salâm, Qawâ’idu al-Ahkâm fi Mashâlihi al-Anam Juz 1, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., 7).

Kaidah/teks di atas, adalah metodologi dari Syekh Izzu al-Dîn ibn Abdu al-Salâm seorang sulthanul ulama (rajanya para ulama). dalam memandang kemaslahatan secara ringkas adalah: (1) terlihat, (2) ada sebab yaitu timbulnya kemaslahatan yang lebih besar, (3) jelas perbedaannya antara kedua kemaslahatan tersebut, dan (4) dapat diukur. Tidak ada sesuatu yang bisa dianggap sebagai ashlah (lebih maslahat) tanpa pengukuran, dan pengukuran ini hanya ada pada metodologi riset. Dengan demikian, sesuatu dianggap maslahat bila ada data yang menunjuk kepada lebih maslahatnya itu. Jadi, kata kuncinya adalah “data. Adapun posisi nash adalah sebagai kalibrasi atau tolok ukur dan shalat (istikharah) sebagai penguat dan ketenangan. Jika kita mencari yang sempurna itu hampir mustahil, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah semata, sebagaimana dikatakan oleh beliau pula:

واعلم أن المصالح الخالصة عزيزة الوجود. فإن تحصيل المنافع المحضة للناس كالمأكل والمسكن لا يحصل إلا بالسعي في تحصيلها بمشقة الكد والنصب. فإذا حصلت فقد اقترن بها من المضار والآفات ما ينغصها

“Kemaslahatan murni itu sangat sulit terwujud. Upaya mencapai kesejahteraan bagi masyarakat seperti di bidang pangan dan papan hanya bisa diraih dengan jerih payah dan perjuangan keras. Karena itulah kemaslahatan yang diraih (nyaris selalu) bercampur dengan sisi mudarat yang mengiringinya.” (‘Izz al-Dîn ibn Abdu al-Salâm, Qawâ’idu al-Ahkâm fi Mashâlihi al-Anam Juz 1, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., 7).

Dari dua kaidah fiqih di atas sangat korelatif untuk dijadikan landasan berfikir dalam memilih, hindari fanatisme buta! karena ia seumpama ejakulasi dini kejiwaan yang dampaknya sangat merugikan bagi diri dan sekitarnya, di lain sisi kita harus melek terhadap politik (edukasi politik) agar mendapatkan landasan dasar data relevan.

Akhir kata saya tutup dengan maqolah Imam Syafií:

وَعَينُ الرِضا عَن كُلِّ عَيبٍ كَليلَةٌ

وَلَكِنَّ عَينَ السُخطِ تُبدي المَساوِيا

Mata yang simpati/suka menutupi segala cela/kekurangan

Mata yang benci melihat semua nista/buruk

Kalau sudah suka dengan “A” ataupun “B” acapkali tak terlihat cela/aib mereka. Kalau sudah benci maka tak selamat keduanya dari lisan yang menista. Wallahu a’lam.

أللهم قني شر نفسي واعزم على رشدي أمري ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا

Semoga Allah memperbaiki kondisi para penguasa dan pemimpin bangsa ini dan kaum muslimin. Aamiin

By: Ahmad Idhofi

MWCNU Leuwiliang Gelar Halal bi Halal dan Lailatul Ijtima’

MWCNU Leuwiliang Gelar Halal bi Halal dan Lailatul Ijtima’

Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Leuwiliang mengadakan acara halal bi halal pada Senin Malam (22/5/2023) di Masjid Yayasan Madinatul Jannah Pon-Pes Nurul  Falah Salafi pimpinan Kyai Badru Zaman sekaligus ketua ranting NU Kp.Ciletuh,  Kec.Leuwiliang Bogor. Agenda Halal bi halal kali ini berbeda dengan tahun lalu, karena kali ini bertepatan dengan Lailatul Ijtima’ di Ranting Ciletuh, dengan demikian keduanya dilaksanakan secara bersamaan antara Lailatul Ijtima dan Halal bihalal.

Turut hadir dalam acara ini Para Musytasar Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Leuwiliang KH.Fiqih Noval Hamdzali sekaligus guru pemateri pengajian, Ust.Suherman, S.Ag. Ketua Tanfidziyah Gus Dr.Samsul Rizal Mz., beserta Wakilnya Ust.Galih Pratama, M.Pd.I., Rois Suriyah MWCNU KH.Suyatno, S.Ag, beserta Katib-nya Dr.Ahmad Idhofi. beserta jajaran pengurus MWCNU baik dari A’wan, lembaga, banom, ranting dan lainnya. 

Acara ini diawali dengan tawassulan hadiah fatihah bagi para muassis Nahdlatul Ulama khuusnya, ulama NU, kaum muslimin dan muslimat, dilanjutkan dengan menyayikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan Yalal Wathon


Kegiatan ini dilanjutkan dengan sambutan oleh  Ketua Tanfidziyah Gus Dr.Samsul Rizal Mz., beliau menyampaikan permohonan ma’af dan terimakasih atas penerimaan, jamuan dari tuan rumah,  juga ucapan terimakasih atas konsistensi dan solidnya para pengurus MWCNU Leuwiliang selama ini dalam suksesi program-program MWCNU dalam membangun ummat di Kecamatan Leuwiliang, beliau juga menyampaikan bahwa pembacaan kitab ASWAJA Karya Muassis Nahdlatul Ulama Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari merupakan rutinitas pengurus MWCNU Leuwiliang pada Lailatul Ijtima’. “Saya mengajak kepada Nahdliyin khususnya di kecamatan Leuwiliang untuk selalu mempertahankan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pijakan dalam beraqidah dan berharakah,” ujarnya.


Selanjutnya masuk acara inti, yaitu penyampaian materi oleh guru KH.Fiqih Noval Hamdzali, beliau menyampaikan beberapa point nasihat dan pelajaran “halal bi halal merupakan salah satu media pemersatu bangsa dan produk asli Indonesia karena pencetusnya adalah orang Indonesia sekaligus Muassis Nahdlatul Ulama KH. Abdul Wahab Hasbullah pada Tahun 1948 dan istilah tersebut tidak sembarangan dicetuskan, karena istilah halal bi halal diambil dari al-Qur’an Surah Ali Imran Ayat 159″ katanya.

Lebih lanjut beliau mengatakan “dalam salah satu kutipan dalam kitab tasawwuf ada dikatakan bahwa tahapan pakaian tasawwuf tertinggi itu berwarna hitam, kenapa demikian? Ternyata bila digali maknanya maka pakaian warna hitam tersebut memiliki filosofi terkait perasaan rindu dan dzauk (rasa) kekhawatiran sebagaimana itu terjadi manakala dalam suasana berkabung dan juga Rasul pun memiliki pakaian hitam”.

Diakhir acara beliau berpesan kepada semua pengurus dan para hadirin “kita jangan mudah terpancing dengan isu-isu yang memperkeruh dan meruntuhkan semangat beragama dan bernegara kita, seperti dikata ada yang berkata orang NU tidak suka Habaib, dapat dipastikan bahwa orang yang berkata demikian itu orang yang tidak faham NU, karena justru NU-lah yang menghidupkan dan menjaga sunnah-sunnah kanjeng nabi dan para dzurriyyat-nya semisal Shalawatan, Marhabanan dsb”. tandasnya.

Wallahu a’lam

By: Ahmad Idhofi

LANA CAPRESUNA WALAKUM CAPRESUKUM

LANA CAPRESUNA WALAKUM CAPRESUKUM

(bagiku CAPRES-ku dan bagimu CAPRES-mu)

فإذا كان الحٌبّ يُعمِي عن المساوئ فالبُغض أيضاً يُعمِي عن المحاسـنْ (الجاحظ)

“Jika cinta dapat membuat seseorang buta terhadap segala keburukan, maka kebencian dapat membuatnya buta atas segala kebaikan”. (Al-Jahidh).

Suatu ketika dalam halaqah ilmiah, ada seorang mahasiswa bertanya padaku. “Mr… menurutmu siapa Capres yang baik dan tepat antara si “A atau si B?”. Sejenak saya terdiam sambil menghela nafas panjang, huff… dalam hati saya bergumam “waduh topik sensitif nih Poli2”. Kemudian saya coba menjawab, jadi begini le’ jawabku “CAPRES yang baik dan cocok untuk memimpin bangsa kita ini ialah CAPRES yang nanti Allah takdirkan jadi pemimpin negara kita”. Seloroh dia menimpali, “Loh… kok jawabannya jadi bias begitu Mr” sautnya. Lalu saya mencoba jelaskan maksud jawaban saya tadi “kenapa saya jawab demikian?, ya karena secara tidak langsung pertanyaan anda itu bak buah simalakama atau boomerang bagi seseorang, ketika dijawab si A, maka para pemilih B merasa tersinggung dan kesal, bahkan menilai saya tak layak lagi menjadi figur tutor baginya, bahkan bisa jadi malah memusuhi saya, begitupun sebaliknya. Kenapa demikian, harap dimaklum aja bahwa sebagian masyarakat kita itu belum sepenuhnya siap dan dewasa untuk berpikir objektif kebhinekaan, saling menghargai perbedaan pandangan dan pilihan dsb, perlu diketahui bahwa tipe pemilih atau pendukung itu ada empat: 1). Tipe Rasional (melihat figur sec personal, program, rekam jejak, sampai rencana yang ditawarkan). 2).Tipe Kritis (melihat figur. background partai politik yang mengusung, pertimbangan di banyak aspek). 3).Tipe Skeptis (hanya mempercayai calon pilihannya saja dengan cara menjelek-jelekkan calon lain, atau tidak mempercayai semua calon yang ada memiliki kemampuan). dan 4).Tipe Tradisional (pendukung loyal yang siap digerakkan dan bergerak untuk membantu calon pilihannya menang).

Saya coba terus jelaskan padanya “Sekarang coba anda kaji lagi tentang teori dasar research polling penelitian (kualitatif)! bahwa istinbatul ahkam/pengambilan keputusan si peneliti atau pemilih itu dalam proses penyimpulan pada umumnya itu berdasar dan terikat pada faktor alam relativitas/ketergantungan yang mengitari diri si peneliti/pemilih baik premis-premis minor ataupun mayor, semisal dari sumber data informasi-informasi langsung ataupun tidak langsung yang sering dikonsumsi dan dianalisa, dari obrolan teman (offline atau WAG), kerabat, guru dll, dimana mana nantinya akan mempengaruhi sisi emosionalnya terhadap keputusan pilihan si peneliti/pemilih tsb, karena kebanyakan aktifasi otak manusia seringkali mendahulukan EQ daripada IQ.

Oleh karena itu,,, ketika anda menyatakan bahwa “Pemimpin yang tepat bagi bangsa kita ini adalah si A ataupun si B”, tentulah pernyataan tersebut didasarkan pada informasi, sugesti, kecenderungan psikologis dll yang diperoleh diri si pemilih yang mengantarkan pada suatu keyakinan, inilah yang dinamakan konsep diri, singkatnya, alam subjektivitas yang ada pada diri andalah yang mendorong keputusan-keputusan tsb. Maka dari itu, disadari ataupun tidak, bahwa sumber data informasi pergaulan dan pengalaman anda itu akan menumbuhkan dan membuahkan kesimpulan dan keputusan yang mewarnai kehidupan anda, pengaruh tersebut ada yang berbentuk amil/pengaruh dari golongan Jar’, nashab ataupun Jazm (dalam kajian sintak), gitu loh.

“Oh… betu ya Mr…” si mahasiswa menimpali sambil menganggukkan kepalanya. Lalu, bagaimana kita menyikapi orang-orang yang fanatis pada salah satu pemimpin, bahkan dengan semangat ia suka mengirim dan mempost informasi negatif dengan maksud ingin menjatuhkan citra dan elektabilitas pemimpin yang tidak sesuai dengan waduknya/pilihannya dengan alasan ini kritikan baginya Mr..? Oh,,, itu, begini saja Le’, jika anda menemukan tipikal pribadi-pribadi seperti itu, maka acuhkan dan do’akan saja untuk kebaikannya! Karena  Perlu diketahui bhw memang banyak kritikus di negeri ini, kurang lebih ada 5 jenis Kritikus: 1).Kritikus tulus yang ingin perbaiki keadaan (konstruktif). 2).Kritikus tulus yang kurang informasi atau salah informasi. 3).Kritikus oposisi yang ingin lawannya jatuh (destruktif). 4).Kritikus yang ingin dianggap sebagai orang penting (cari panggung). 5).Kritikus yang ingin jualannya dibeli dengan materi atau kedudukan (calo pesanan). Nah,, orang-orang model seperti itu memang ada yang sengaja dibentuk secara struktural alias buzzer dalam rangka mem-braindwash/mencuci otak atau mempengaruhi objek/pemilih dan ada yang secara kultural alami sudah terinfeksi virus CIRENG (benci dan suka menggoreng), CILOK (Suka mencaci dan mengolok-olok) dsb, jadi tanpa sadar ia-pun turut andil menjadi calo amatir yang memiliki tujuan yang sama untuk mempengaruhi domba-domba yang tersesat, menurut dirinya. He,,,

Sudah! begini aja ya adek adek semua,,, terakhir saya simpulkan dan sarankan:

1. Jika ada pertengkaran, kebencian dan permusuhan, maka dapat dipastikan bahwa dia itu bukan Abdullah/hamba Allah, tetapi ia adalah Abdul Illat (budak nafsunya).

2. Hormati dan hargai ijtihad politik dari saudara-saudara kita & Berdamailah dengan dirimu.

3. Jangan underestimate dan jualan gorengan terhadap ijtihad politik orang.

4. Bersikaplah objektif dan lemah lembut terhadap perbedaan dsb.

5. Bilamana menemui orang-orang yang selalu mengingikan perdebatan tanpa ilmu dan adab, maka hindarilah! Karena Imam Syaf’I dan Sahl bin Harun mengingatkan bahwa:

قال الإمام الشافعي: مَا جَادَلْتُ عَالِمًا إِلَّا غَلَبْتُهُ وَلَا جَادَلْتُ جَاهِلًا إِلَّا غَلَبَنِي

“Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual, aku selalu menang. Tetapi anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya.” (Imam Syafi’i dalam kitab Mafahim Yajibu an Tushahhah)

وَجَدْتُ موَدَّةَ الْجَاهِلِ، وَعَدَاوَةَ الْعَاقِلِ، أُسْوَةً فِي الْخَطَرِ

“Dukungan dari pendukung yang bodoh sama bahayanya dengan permusuhan dari musuh yang brilian. ~Sahl bin Harun.

6. Banyak-banyaklah anda mendo’akan kebaikan bangsa dalam munajat.

Wallahu a’lam.

Ahmad Idhofi

GERAKAN SEDEKAH NGALAP BERKAH

GERAKAN SEDEKAH NGALAP BERKAH

Beberapa hari ini MWC NU Kecamatan Leuwiliang terlihat lebih intens melakukan pertemuan dan musyawarah pengurus. Setelah terbentuknya kepanitiaan, semangat dan gerakan dalam upaya pembangunan gedung kantor sekretariat MWC NU kabarnya mulai terdengar ke berbagai daerah di Kabupaten Bogor, bahkan hingga Depok, Jakarta dan Bandung.

Inisiasi pembangunan gedung ini berawal dari obrolan ringan para inohong pengurus pada kegiatan Lailatul Ijtima’ yang rutin dilaksanakan dwi-mingguan pada tiap-tiap ranting. Obrolan kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk kepanitian pada sebuah pertemuan di kediaman ketua tanfidziyah, Gus Syamsul Rizal, yang bertepatan pada tanggal 17 Ramadhan lalu. Maka disepakatilah Ki Suherman sebagai ketua pelaksana pembangunan. Sebagai starting point, Panitia tersebut langsung mengadakan lelang wakaf untuk dana awal pembebasan lahan yang pada malam itu belum diketahui letak dan harganya. Tak disangka, semangat pengurus dalam mewujudkan impian untuk memiliki gedung sendiri sangat kuat, hanya dalam hitungan jam terkumpul dana sekitar Rp. 36.000.000,- dari para pengurus yang hadir pada acara buka bersama tersebut.

Panitia pembangunan terbagi menjadi beberapa divisi diantaranya; Div. Penggalangan Dana, Div. Pembebasan lahan, Div. Pembanguan, Div. Media dan Informasi. Ki Dodo Murtado sebagai ketua Divisi pembebasan lahan, kemudian memberikan laporan beberapa opsi tempat, yang kemudian disepakati untuk membebaskan sebidang tanah yang berlokasi di jalan Lingkar Leuwiliang, karena dianggap tempat itu cukup strategis. Alhamdulillah pembayaran Down Payment (DP) sudah dilakukan oleh divisi tersebut, sambil melakukan penggalangan dana, upaya silaturahmi ke berbagai Tokoh NU terus dilakukan. Dengan optimalisasi swadaya masyarakat, utamanya para nahdliyin, pengumpulan dana dilakukan dengan sebar kupon dan sertifikat wakaf. Kini, panitia mengembangkan upaya pengumpulan dana melalui berbagai usaha, salah satunya program tebus infak dengan berbagai souvenir. Dengan harapan pengumpulan dana bisa semakin masiv,  sehingga lahan yang dimaksud bisa dilunasi dan pembangunan gedung MWC NU Kecamatan Leuwiliang dapat segera dimulai, sehingga mimpi para pengurus MWC NU Leuwiliang untuk memiliki gedung sendiri dapat terwujud.

Galih Pratama

SAMBUTAN

SAMBUTAN

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillah Puji Syukur kepada Allah SWT, atas limpahan rahmat-Nya memasuki tahun 2020, Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Leuwiliang Bogor semakin solid dan terus menunjukkan perkembangannya.

Selanjutnya, Sholawat serta salam selalu kita lantunkan kepada baginda Nabi Muhammad Rosulullah SAW, semoga langkah gerak kita dalam mengabdi di rumah besar NU, selalu mendapatkan limpahan berkahnya dan kita termasuk bagian dari umatnya, amin.

Sebagai salah satu media informasi dan bentuk sosialisasi dengan jamaah dan masyarakat maka adanya website MWC NU Leuwiliang diniali penting dan urgen dibuat untuk mendukung Visi Misi NU itu sendiri. Teknologi informasi yang berkembang begitu pesatnya meniscayakan ada ruang kerja dakwah baru yang cukup besar bagi NU, yakni berdakwah dan memberikan informasi, solusi dan koordinasi dalam kebaikan bagi umat melalui digitalitalisasinya.

Kini, alhamdulillah MWC NU Leuwiliang berusaha memanfaatkannya dalam bentuk website resmi dan media social yang nantinya dengan Web ini MWC NU Leuwiliang bekerja melayani informasi seputar kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan kepada masyarakat Leuwiliang khususnya dan Bogor umumnya. Dalam web ini insyaallah MWC NU Leuwiliang akan hadir memberikan layanan informasi sebaik-baiknya, baik informasi berita, kajian dan pendalaman islam ahlusunnah wal jamah, tokoh, sejarah dan beragam kebutuhan informasi lainnya.

Berbekal semangat dan niat ini, dengan berpegang pada kaidah, etika dan tata kelola jurnalistik yang baik serta akhlaqul karimah, insyaallah kehadiran seluruh media informasi ini insya Allah akan bermanfaat dan mendapat ridho Allah SWT.

Kami berharap dengan adanya Webportal mwcnuleuwiliang.com dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh seluruh warga Nahdliyin. Khusus kepada seluruh pengurus NU, Banom, dan Lembaga di berbagai tingkat, mulai dari Cabang hingga Ranting agar selalu memberikan informasi kepada publik tentang kegiatan kita.

Wallahul Muwafiq ila Aqwamith Thoriq Wasalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh

PENGAJIAN PERDANA MUI KECAMATAN LEUWILIANG MASA BHAKTI 2020-2025

PENGAJIAN PERDANA MUI KECAMATAN LEUWILIANG MASA BHAKTI 2020-2025

Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Kamis, ( 2/28/2021) mengadakan kegiatan pengajian bulanan perdana pada masa bhakti pengurus baru tahun 2020 – 2025. Acara pokok dalam kegiatan pengajian bulanan tersebut antara lain pembacaan dzikir dan tahlil, arahan Ketua MUI Kecamatan dan disambung dengan Kajian ilmiah dan hikmah oleh Dewan Pertimbangan MUI Kecamatan. Acara tersebut digelar di kediaman Ketua MUI Desa Leuwimekar tepatnya di Majlis Nurussa’adah pimpinan Kyai Adna Kp. Suka mulya Rt/Rw 01/02 Desa Leuwimekar.

Acara yang di ikuti lebih kurang 80 pengurus MUI Kecamatan dan Pengurus MUI Desa, juga dihadiri para tokoh agama setempat. Sesi acara diawali dengan pembacaan dzikir dan tahlil oleh Ust. Itab Thobroni, kemudian dilanjutkan dengan sambutan atas nama tuan rumah oleh Kyai Adna, “Saya sangat berterima kasih banyak kepada ketua MUI Kecamatan Leuwiliang yang sudah mengagendakan pengajian bulanan perdana MUI Kecamatan masa bhakti 2020-2025 ini ditetapkan di kediaman saya, semoga Majelis dan Kp.Suka Mulya bertambah kebarkahannya” Tuturnya. (Adna).

Selanjutnya dilanjutkan dengan sambutan dan arahan oleh Ketua MUI Kecamatan Leuwiliang, beliau mengucapkan terimakasih banyak khususnya kepada tuan rumah yang sudah memfasilitasi kegiatan pengajian bulanan MUI Kecamatan tersebut, Kemudian beiau mengajak kepada para pengurus MUI Kecamatan Leuwiliang untuk bersinergi dalam melaksanakan program-program MUI Kecamatan dan lebih berenergi lagi mengarahkan dan membina ummat di Kecamatan Leuwiliang”.

Sementara untuk penyampaian kalimat ilmiah dan hikmah disampaikan oleh Dewan Pertimbangan MUI Kecamatan Leuwiliang KH.Fiqih Noufal Hamdzali, beliau berpesan “agar seluruh komponen jajaran pengurus MUI Kecamatan Leuwiliang turut berperan aktif mengayomi dan membimbing ummat di wilayah kecamatan Leuwiliang melalui pendekatan persuasif dengan cara medekat ke kediaman ummat, juga kembali membina ummat melalui pendekatan normatif dengan fatwa-fatwanya yang bersifat regular atau harian,”, karena sejatinya pada diri ulama itu adanya syamsal bayan yang berkonotasi majaziyah sebagai batinnya matahari yang mampu menerangi ummat, dengan demikian harapan besar agar pengajian bulanan tersebut bisa dilaksanakan secara konsisten dan produktif, tutupnya.

Penulis: Dove