LANA CAPRESUNA WALAKUM CAPRESUKUM

LANA CAPRESUNA WALAKUM CAPRESUKUM

(bagiku CAPRES-ku dan bagimu CAPRES-mu)

فإذا كان الحٌبّ يُعمِي عن المساوئ فالبُغض أيضاً يُعمِي عن المحاسـنْ (الجاحظ)

“Jika cinta dapat membuat seseorang buta terhadap segala keburukan, maka kebencian dapat membuatnya buta atas segala kebaikan”. (Al-Jahidh).

Suatu ketika dalam halaqah ilmiah, ada seorang mahasiswa bertanya padaku. “Mr… menurutmu siapa Capres yang baik dan tepat antara si “A atau si B?”. Sejenak saya terdiam sambil menghela nafas panjang, huff… dalam hati saya bergumam “waduh topik sensitif nih Poli2”. Kemudian saya coba menjawab, jadi begini le’ jawabku “CAPRES yang baik dan cocok untuk memimpin bangsa kita ini ialah CAPRES yang nanti Allah takdirkan jadi pemimpin negara kita”. Seloroh dia menimpali, “Loh… kok jawabannya jadi bias begitu Mr” sautnya. Lalu saya mencoba jelaskan maksud jawaban saya tadi “kenapa saya jawab demikian?, ya karena secara tidak langsung pertanyaan anda itu bak buah simalakama atau boomerang bagi seseorang, ketika dijawab si A, maka para pemilih B merasa tersinggung dan kesal, bahkan menilai saya tak layak lagi menjadi figur tutor baginya, bahkan bisa jadi malah memusuhi saya, begitupun sebaliknya. Kenapa demikian, harap dimaklum aja bahwa sebagian masyarakat kita itu belum sepenuhnya siap dan dewasa untuk berpikir objektif kebhinekaan, saling menghargai perbedaan pandangan dan pilihan dsb, perlu diketahui bahwa tipe pemilih atau pendukung itu ada empat: 1). Tipe Rasional (melihat figur sec personal, program, rekam jejak, sampai rencana yang ditawarkan). 2).Tipe Kritis (melihat figur. background partai politik yang mengusung, pertimbangan di banyak aspek). 3).Tipe Skeptis (hanya mempercayai calon pilihannya saja dengan cara menjelek-jelekkan calon lain, atau tidak mempercayai semua calon yang ada memiliki kemampuan). dan 4).Tipe Tradisional (pendukung loyal yang siap digerakkan dan bergerak untuk membantu calon pilihannya menang).

Saya coba terus jelaskan padanya “Sekarang coba anda kaji lagi tentang teori dasar research polling penelitian (kualitatif)! bahwa istinbatul ahkam/pengambilan keputusan si peneliti atau pemilih itu dalam proses penyimpulan pada umumnya itu berdasar dan terikat pada faktor alam relativitas/ketergantungan yang mengitari diri si peneliti/pemilih baik premis-premis minor ataupun mayor, semisal dari sumber data informasi-informasi langsung ataupun tidak langsung yang sering dikonsumsi dan dianalisa, dari obrolan teman (offline atau WAG), kerabat, guru dll, dimana mana nantinya akan mempengaruhi sisi emosionalnya terhadap keputusan pilihan si peneliti/pemilih tsb, karena kebanyakan aktifasi otak manusia seringkali mendahulukan EQ daripada IQ.

Oleh karena itu,,, ketika anda menyatakan bahwa “Pemimpin yang tepat bagi bangsa kita ini adalah si A ataupun si B”, tentulah pernyataan tersebut didasarkan pada informasi, sugesti, kecenderungan psikologis dll yang diperoleh diri si pemilih yang mengantarkan pada suatu keyakinan, inilah yang dinamakan konsep diri, singkatnya, alam subjektivitas yang ada pada diri andalah yang mendorong keputusan-keputusan tsb. Maka dari itu, disadari ataupun tidak, bahwa sumber data informasi pergaulan dan pengalaman anda itu akan menumbuhkan dan membuahkan kesimpulan dan keputusan yang mewarnai kehidupan anda, pengaruh tersebut ada yang berbentuk amil/pengaruh dari golongan Jar’, nashab ataupun Jazm (dalam kajian sintak), gitu loh.

“Oh… betu ya Mr…” si mahasiswa menimpali sambil menganggukkan kepalanya. Lalu, bagaimana kita menyikapi orang-orang yang fanatis pada salah satu pemimpin, bahkan dengan semangat ia suka mengirim dan mempost informasi negatif dengan maksud ingin menjatuhkan citra dan elektabilitas pemimpin yang tidak sesuai dengan waduknya/pilihannya dengan alasan ini kritikan baginya Mr..? Oh,,, itu, begini saja Le’, jika anda menemukan tipikal pribadi-pribadi seperti itu, maka acuhkan dan do’akan saja untuk kebaikannya! Karena  Perlu diketahui bhw memang banyak kritikus di negeri ini, kurang lebih ada 5 jenis Kritikus: 1).Kritikus tulus yang ingin perbaiki keadaan (konstruktif). 2).Kritikus tulus yang kurang informasi atau salah informasi. 3).Kritikus oposisi yang ingin lawannya jatuh (destruktif). 4).Kritikus yang ingin dianggap sebagai orang penting (cari panggung). 5).Kritikus yang ingin jualannya dibeli dengan materi atau kedudukan (calo pesanan). Nah,, orang-orang model seperti itu memang ada yang sengaja dibentuk secara struktural alias buzzer dalam rangka mem-braindwash/mencuci otak atau mempengaruhi objek/pemilih dan ada yang secara kultural alami sudah terinfeksi virus CIRENG (benci dan suka menggoreng), CILOK (Suka mencaci dan mengolok-olok) dsb, jadi tanpa sadar ia-pun turut andil menjadi calo amatir yang memiliki tujuan yang sama untuk mempengaruhi domba-domba yang tersesat, menurut dirinya. He,,,

Sudah! begini aja ya adek adek semua,,, terakhir saya simpulkan dan sarankan:

1. Jika ada pertengkaran, kebencian dan permusuhan, maka dapat dipastikan bahwa dia itu bukan Abdullah/hamba Allah, tetapi ia adalah Abdul Illat (budak nafsunya).

2. Hormati dan hargai ijtihad politik dari saudara-saudara kita & Berdamailah dengan dirimu.

3. Jangan underestimate dan jualan gorengan terhadap ijtihad politik orang.

4. Bersikaplah objektif dan lemah lembut terhadap perbedaan dsb.

5. Bilamana menemui orang-orang yang selalu mengingikan perdebatan tanpa ilmu dan adab, maka hindarilah! Karena Imam Syaf’I dan Sahl bin Harun mengingatkan bahwa:

قال الإمام الشافعي: مَا جَادَلْتُ عَالِمًا إِلَّا غَلَبْتُهُ وَلَا جَادَلْتُ جَاهِلًا إِلَّا غَلَبَنِي

“Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual, aku selalu menang. Tetapi anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya.” (Imam Syafi’i dalam kitab Mafahim Yajibu an Tushahhah)

وَجَدْتُ موَدَّةَ الْجَاهِلِ، وَعَدَاوَةَ الْعَاقِلِ، أُسْوَةً فِي الْخَطَرِ

“Dukungan dari pendukung yang bodoh sama bahayanya dengan permusuhan dari musuh yang brilian. ~Sahl bin Harun.

6. Banyak-banyaklah anda mendo’akan kebaikan bangsa dalam munajat.

Wallahu a’lam.

Ahmad Idhofi

AGAMA ROBOT

AGAMA ROBOT

Mengapa nabi Musa dipertemukan dengan nabi Khidir?…

Tiada lain adalah sebuah teguran atas klaim ke-Akuan sekaligus merekonstruksi mindset nabi Musa agar cara berfikirnya serta pemahamannya terhadap agama itu tidak pragmatis, normatif ‘hitam – putih’, dimana agama hanya dimaknai rangkaian konstruksi doktrin, dogma dalam ritual dan ceremonial, yang nantinya bermuara pada dualitas terma yang terdiri dari hal yang bisa diraba dan dicerna oleh akal budi semata (syar’i-tidak syar’i, benar-salah, baik-buruk, larangan-suruhan, sorga-neraka dsb), karena hal ini seperti konstruksi disiplin ilmu fiqih yang seperti mudah dibaca dan diraba oleh logika manusia, juga memagzulkan unsur mysteri atau teka teki senyawa cinta sang pencipta.

Faktor inilah yang melatar belakangi dihadirankannya sosok nabi Khidir dengan misi mendestruksi ke-Akuan sekaligus merekonstruksi kepincangan paradigma yang ada pada diri nabi Musa pada saat itu, Jika boleh berpendapat maka paradigma tersebut bisa dianalogikan bak “agama robot” dengan sifat kekakuannya tanpa rasa, yang justru berpotensi besar melemahkan diri dan agama. Oleh karenanya beliau (nabi Musa) hendak didesign dengan dunia ilmu yang tak pasti metodologinya, penuh dengan rahasia teka teki dan misteri, bukan sekedar ilmu yang bersifat hitam putih yang mudah dibaca dan dicerna oleh logika akal manusia, pada akhir jawabannya nanti bermuara pada pada pemahaman Ilahiah (ilmu hakikat).

Inilah spiritual power nabi Khidir yang hendak ditransfer kedalam dimensi eksoterik pada diri nabi Musa sebagai penyempurna, sehingga dengan softpower tersebut ia mampu mengkonsentrasikan diri pada aspek nadi cinta dan kasih sayang terhadap seluruh mahluk dan alam raya, dikarenakan hal demikian adalah akumulasi lipatan cinta akan kesan-kesan Pencipta.

Lapisan batin realitas yang nabi khidir ajarkan tak ubahnya air laut yang akan mengambil bentuk lahiriah berupa gelombang-gelombang ombak yang tidak berpotensi merusak hakikat mereka sebagai air laut, dalam artian mengsiergikan sub Iman, Islam & Ihsan dalam satu kesatuan yang mempersatukan keragaman pada titik nadi bhineka tunggal Ika, berkesanggupan menjadi elemen perekat ketunggalan dalam jejaring kebhinekaan.

Senyawa dengan metafora air laut, sebagai visualisasi agama islam yang cinta damai. Maka sepatutnyalah dimensi hakikat esoterik ini dapat diakses dan dialami oleh kebanyakan dari kita. maka selayaknya setiap kita bukan hanya memahami dan memiliki cinta, tetapi juga harus menikmati/merasakan kesan cinta pencipta dalam kesadaran personal dan sosial (shaleh individual & sosial).

Tajuk persatuan nabi Musa As & nabi Khidir As memberikan makna Kesatuan Daratan sebagai

syari’at & Lautan sebagai hakikat

WaAllahu a’lam.

Ahmad Idhofi – Salam Kedamaian

TEMANKU SYAFAATKU

TEMANKU SYAFAATKU

“Setemen temene batur iku kang temen temen” (bahasa jawa), artinya “sebaik baiknya teman adalah yang sungguh-sungguh menjaga perteman sampai akhirat”.

Bersyukurlah bila dikaruniai banyaknya teman. Teman-teman yang hadir dalam kehidupan kita itu beragam, ada teman yang mampir hanya untuk mengulang masa kebersamaan (motif; tarikhan), ada yang datang karena untuk keperluan usaha dan pinjaman (motif; tijaaratan/dainan), ada teman yang hadir hanya sekedar menggangu dan menguji kesabaran alias menyebalkan (motif: Waswasan), bahkan tidak sedikit saling sapa dan jumpa karena kepentingan politik semata (motif; siyaasiyan), sebagaimana saat ini hangat terjadi “untuk tipe yang satu ini perlu ekstra hati-hati”. Kemudian ada juga teman karena adanya kesukaan yang sama (motif; hubban): sama-sama suka main bola, suka ngopi dsb.

Saya kira kita gak perlu pilah pilih teman. Bertemanlah dengan siapa saja! adapun nilai-nilai dan pandangan hidup yang muncul dari pertemanan itu baru kita pilah-pilih, karena pola pikir dan pola hidup kita saat ini adalah hasil dari dialektika kita dengan lingkungan/teman, bahkan hasil dialek teman seringkali lebih mendominasi dari pada hasil dialek kita dengan orang tua dan guru. Secara umum teman itu ada tiga tipe: ada yang seperti 1).داء/penyakit, 2).دواء/obat & 3).مائدة/makanan,hidangan”. Dari ketiga tipe tersebut, manakah tipe yang banyak hadir dalam kehidupan kita? Sila renungkan!

Dengan banyaknya teman secara tidak langsung membuka wawasan & kedewasaan kita dalam berpikir, membangun network (sillaturraahim, sillatulilmi wa sillatulmaal), ada prakata baik yang pernah saya dengar “Untuk bertahan hidup, kita memang perlu bekerja keras… Tapi untuk menuju tahapan hidup yang lebih tinggi lagi”, kita perlu membangun relasi, semakin banyak relasi, maka semakin besar pula kemungkinan untuk sukses” inilah yang dinamakan kumpulan aksi, kreasi dan kolaborasi. Kemudian point yang tak kalah penting dari manfaat banyaknya teman adalah “edukasi”, artinya orang/teman adalah cermin (المرء مرءة) kita diajak belajar mengenal banyak karakter dari berbagai latar belakang agar lebih memahami konsep kehidupan, hal ini selaras dengan perintah Tuhan.

Finaly, mencari teman baik/shalih itu susah, tapi melepaskannya sangat mudah, terlebih menjelang musim PILEG & PILPRES yang sarat angkara, tak sedikit antar pendukung saling mensucikan dan mendewakan pilihannya dan menodai pilihan selainnya yang tidak sesuai dengan nafsunya, narasi agama tak lagi menyentuh kalbunya, spektrum logika tersekat lava nafsunya, hingga jalinan pertemanan tergadai dengan begitu murah.

Oleh karenanya, mari bergaul sesering mungkin dengan teman yang selalu membangun komunikasi aura positif dan produktif, selalu mendorong untuk selalu komunikasi secara intens terhadap sang Khalik. Hal yang harus diingat adalah bilamana kita memiliki teman-teman yang shalih maka “mereka akan menjadi syafa’at kita di hari kiamat”, Aamiin.

Penyesalan salah gaul/teman dalam surat Al-Furqan;

 يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلانًا خَلِيلا (٢٨) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلإنْسَانِ خَذُولا (٢٩)

“Wahai, Malanglah/celaka aku! Sekiranya aku tidak menjadikan si dia itu teman karib. Sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan ketika itu telah datang kepadaku.”

Wallahu a’lam.

By: Ahmad Idhofi

ORANG TUAKU BERNAMA GADGET

ORANG TUAKU BERNAMA GADGET

Dalam al-Qur’an istilah anak dipanggil dengan empat istilah/kedudukan, yakni 1).Ziinatun (perhiasan) 2).Fitnah (ujian & cobaan), dan 3).Qurrota a’yun, (penyejuk mata hati) 4). ‘Aduwwun (musuh). Tentu kita sebagai orang tua mengharapkan anak kita masuk dalam kategori yang ketiga “Qurrota a‎‎’yun”, karena qurrota a’yun  inilah yang disebut anak shaleh”, sebagaimana doa yang dipanjatkan Nabi Zakariya AS

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”(QS: al-Furqon, 74).

Namun, untuk mendapatkan kategori tsb diperlukan ketekunan dan konsisten orang tua dalam berupaya untuk mewujudkannya, selain itu doa yang harus selalu mengalir dari hati orangtuanya. Seyogyanya, orang tua menjadi figure/teladan untuk anak-anaknya. Karena anak merupakan cermin dari orang tuanya.

Berbicara tentang anak di zaman 4.0 sekarang ini, tidak sedikit sikap abai dan pasif orang tua dalam mengawasi dan membimbing anak-anaknya dalam menggunakan gadget/HP, dari mulai umur dini sampai remaja, saya perhatikan sebagian besar orang tua terkesan mudah memberikan gadget sebagai pegangan keseharian anaknya dan tidak terlalu khawatir dengan dampak negatif yang akan ditimbulkan dari penggunaan gadget secara terus- menerus dengan tanpa pengawasan dan penjadwalan, sehingga tidak aneh jika banyak anak-anak yang menjadi dewasa prematur, mereka asyik menggunakan HP diberbagai titik sudut rumah, sekolah dan jalan yang akhirnya membuat pola hidupnya tak teratur bahkan sulit diatur.

Penggunaan gadget tanpa pengawasan dan penjadwalan dari ortu itu akan berpengaruh negatif pada perkembangan nilai agama, interaksi sosial di sekitar dan psikologi anak, sebab gadget bagi anak akan menimbulkan ketergantungan dan menyebabkan mereka makin terisolasi dari kehidupan sosial nyata. Alhasil, anak akan rentan terhadap depresi ketika “dipaksa” untuk berhadapan dengan dunia nyata. Padahal manajemen penggunaan gadget bagi anak merupakan langkah awal edukasi dan proteksi sebagai perwujudan amanah dan juga langkah dari realisasi harapan ortu diatas. Memang tidak dipungkiri bahwa gadget memiliki dampak positif seperti dipergunakan untuk media informasi & pembelajaran, ada juga yang masuk kategori daruruat/bahaya yang seringkali sebagai jalam menenangkan anaknya yang rewel atau nangis juga atas dasar kesibukan orang tua namun tanpa penjadwalan dan pengawasan.

Perlu diketahui bahwa tipe anak (baligh) sebagai generasi digital itu sebagai:

1. Eksistensi diri ; anak berupaya ingin membuktikan keberadaan mereka dengan membuat berbagai akun media sosial (Facebook, Instagram, Youtube, Tiktok dll)

2. Ekspresi bebas ; anak cenderung blak-blakan, berfikir terbuka, bebas dan tidak suka diatur. Dalam hal ini, dunia maya menawarkan kebebasan berekspresi.

3. Pembelajar ; anak mampu belajar jauh lebih cepat melalui kemudahan dalam mengakses informasi yang jauh lebih cepat dengan berbagai mesin pencari (Google,dll)

Akhir kata simpulanku bagi orang tua zaman now terkait pemberian gadget bagi anak itu bukan melarang anak-anak menggunakan gadget, karena mereka merupakan generasi “digital native” yang sudah mengenal media elektronik sejak lahir yang berbeda dengan zaman kita dulu. Maka tugas kita sebagai orang tua mempersiapkan, membimbing anak-anak menghadapi era digital ini dengan sukses tanpa mengindahkan pendidikan agama dan perkembangan hubungan aktif sosial disekitarnya, sebab langkah proteksi melalui monitoring (pengawasan), timing (penjadwalan) dsb tsb sebagai usaha serius mengemban amanah Tuhan dan dalam rangka merealisasikan cita-cita kita sebagai ortu.

TIPS Bagi Orang Tua Mendamping Anak di Era Digital :

1.Tingkatkan ilmu pengetahuan orang tua, terkhusus parenting, operasional gadget juga dampak positif dan negatif dari gadget.

a.Meski orang tua cenderung lebih ‘gaptek’ dibanding anak, namun di era digital ini, orang tua harus senantiasa mengikuti perkembangan kemajuan teknologi. Luangkan waktu untuk belajar hal baru terkait media sosial dan dunia maya, agar bisa mendampingi dan memantau anak ‘berselencar’ lebih jauh.

2.Arahkan anak untuk ‘bijak’ menggunakan media digital

a.Orang tua memiliki kendali untuk membatasi waktu penggunaan gadget bagi anak, sesuai dengan usia anak. Tetap upayakan agar anak lebih banyak waktu untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung dengan dunia sosial yang nyata dan mengekplorasi lingkungan secara langsung melalui berbagai aktivitas seperti bermain di alam, membaca, berolahraga, dll

b.Arahkan dan kontrol anak untuk menggunakan gadget untuk tujuan positif yang bisa memaksimalkan tumbuh kembang mereka.

c.Batasi secara bijak aktivitas dan etika anak berkomunikasi di dunia maya.

3.Pilihkan program/aplikasi positif dalam gadget yang bisa men’screening’ secara langsung hal-hal yang berdampak negatif terhadap perkembangan anak seperti konten porno dll.

4.Dampingi & tingkatkan interaksi bersama anak dalam penggunaan gadget/media digital.

Sudahkah kita mempersiapkan diri menjadi orang tua yang bijak di era  serba digital ini?

Apakah anak-anak kita akan Qurrotu a’yun di dunia dan akhirat nanti atau sebaliknya mereka menjadi aduwwun yang akan mempersulit & mencegah kita masuk surga?

If Your Plan for 1 year, Plant a rice

If Your Plan for 10 years, Plant a tree

If Your Plan for 100 years, Educate Children

Wallahu a’lam

Ahmad Idhofi

Berpikir Tertib ala Pesantren

Berpikir Tertib ala Pesantren

Mengkaji pendapat ulama dalam mazhab itu membuat kita mengerti cara berpikir yang tertib dan sistematis. Tidak serampangan asal comot opini atau fatwa ulama. Para Kiai di pesantren terlatih untuk mengikuti cara berpikir yang ilmiah ini –tidak sebagaimana cibiran kalangan tertentu seolah para Kiai itu kuno, kolot, dan tidak ngilmiah.

Kitab Fathul Mu’in dengan hasyiah-nya I’anatut Thalibin, sebuah kitab mazhab Syafi’i yang banyak dipelajari dan dipedomani di pesantren-pesantren membicarakan bagaimana seharusnya bermazhab.

Dalam kitab itu disebutkan bahwa dalam bermazhab (demikian juga dalam memberikan fatwa dan memutuskan hukum di pengadilan), pendapat yang harus dipedomani adalah pendapat yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.

Akan tetapi jika keduanya berbeda pendapat, pendapat Imam Nawawi-lah yang harus dijadikan pedoman. Apabila tidak ditemukan pendapat Imam Nawawi, barulah dipedomani pendapat Imam Rafi’i, lalu pendapat yang dinyatakan rajih (kuat) oleh sebagian besar ulama, dan seterusnya.

Dari sisi kitab, jika kitab-kitab karya Imam Nawawi saling berlainan antara yang satu dengan yang lain maka – secara berturut-turut – kitab yang harus dijadikan rujukan ialah kitab al-Majmu’, at-Tahqiq, at-Tanqih, ar-Raudhah, al-Minhaj, dan seterusnya. Cara pandang dan sikap seperti itu terdapat pula di lingkungan mazhab lain.

Lantas bagaimana kalau terjadi perbedaan riwayat dalam memahami hasil ijtihad Imam Syafi’i? Maka Imam Nawawi dalam kitab al-Minhaj pun menjelaskan berbagai istilah yang dipakai dalam mazhab Syafi’i. Sekedar menyebutkan contoh saja:

  1. Al-Adzhar ( الأظهر) : yaitu pendapat imam Syafi’i yang lebih diunggulkan ketika argument beliau sama-sama kuat antara dua pendapat atau lebih,
  2. Al-Masyhur (المشهور ) : pendapat imam Syafi’i yang diunggulkan (al-rajih) dari beberapa pendapat sang Imam yang argumentasinya lemah, alias dalil-dali dari pendapat yang dikatakan sebagai masyhur itu kuat dan dalil-dalil yang menyimpulkan hukum yang lain lemah, yaitu al-gharib ( الغريب ).
  3. Al-Ashah ( الأصح ) : Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’iyyah, dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama kuat dari segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan al-ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi’i yyah yang tidak kuatnya disebut dengan ash-shahih.
  4. Al-Nash ( النص ) : adalah pendapat atau ucapan sang Imam as-Syafi’i, sedangkan lawan dari al-nash ( النص ) yaitu dhoif (ضعيف ) atau qoul mukhorroj ( قول مخرج ), maka lawan dari al-nash ( النص ) tidak boleh diamalkan serta tidak boleh juga disandarkan (pendapat itu) kepada sang Imam kecuali dengan memberikan catatan.

Ini sebabnya anda tidak bisa dianggap pakar dalam bidang ilmu apapun kalau belum berpikir secara runtut, tertib dan sistematik sesuai disiplin ilmu tersebut. Itu yang membuat para Kiai di pondok pesantren sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa, tidak seperti para mufti di facebook dan mufti medsos lainnya 

Kita ini belum ada seujung kuku ilmunya para Kiai. Bahkan saat berbeda pandangan dengan para Kiai pun kita tidak boleh su’ul adab. Mari kita doakan semoga Allah merahmati para Kiai, masyayikh dan guru-guru kita dan kita diberi ‘cipratan‘ cahaya dan rahasia ilmu-ilmu mereka. Amin ya Allah

Tabik,

Nadirsyah Hosen

Belajar Sunnah Nabi dari Imam Sayfuddin al-Amidi

Belajar Sunnah Nabi dari Imam Sayfuddin al-Amidi

Suatu malam Sayfuddin bermimpi berkunjung ke rumah Imam al-Ghazali. Dalam mimpi itu beliau seolah diberitahu untuk memasukinya dan melihat peti. Dia pun membukanya dan melihat jenazah Imam al-Ghazali. Lalu Sayfuddin menyingkap kafan yang menutupi wajahnya dan menciumnya.

Sayfuddin ini kelak dikenal dengan nama Imam Sayfuddin al-Amidi (1156-1233). Semula beliau mengikuti mazhab Hanbali sewaktu beliau masih kecil sesuai dengan lingkungannya saat itu. Kemudian beliau berguru pada Syekh Abul Qasim Ibn Fadlan yang bermazhab Syafi’iSayfuddin Amidi juga lebih cocok dengan aqidah Asy’ariyah. Maka jadilah beliau seorang ulama terkemuka dari Mazhab Syafi’i yang Sunni Asy’ari. Dari Baghddad, beliau pindah ke Mesir dimana beliau mendapati fitnah dari sebagian pihak yang menuduhnya sesat, kemudian beliau pindah ke Damaskus dan menulis kitab Ushul al-Fiqh yang sangat terkenal, yaitu kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kitab ini merangkum dan menjelaskan masalah dalil dan kaidah istinbath dari empat kitab utama: al-‘Amd, al-Mu’tamad, al-Burhan dan al-Mustasfa.

Nama Kitab terakhir, al-Mustasfa, merupakan karya Imam al-Ghazali. Inilah pengaruh mimpi spiritual Sayfuddin al-Amidi yang mencium jenazah Imam al-Ghazali. Beliau sendiri menuturkan: “selepas mimpi itu aku berkata pada diriku sendiri untuk mengambil perkataan Imam al-Ghazali. Kemudian dalam waktu singkat aku hafal isi kitab al-Mustasfa karya Imam al-Ghazali”.

Murid Imam al-Amidi yang sangat terkenal adalah Syekh Izzudin Abdus Salam. Beliau berkata tentang gurunya: “Tidak saya pelajari kaidah-kaidah pembahasan kecuali dari Imam al-Amidi.” Atau di kesempatan lain, “Tidak saya dengar pengajaran yang paling bagus mengenai kitab al-Wasitnya Imam al-Ghazali seperti yang disampaikan oleh Imam al-Amidi” dan ungkapan-ungkapan senada lainnya yang mengagumi Imam al-Amidi. Syekh Izzudin ini pada masanya digelari Sulthan-nya ulama.

Salah satu pembahasan penting dalam kitab ushul al-fiqh karya Imam al-Amidi adalah mengenai kedudukan Sunnah Nabi. Beliau mengemukakan bagaimana para pakar Ushul al-Fiqh berbeda pandangan mengenai perbuatan Nabi yang menjadi dalil syar’i. Kemudian beliau memaparkan pandangannya.

Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan hal biasa yang dilakukan manusia pada umumnya seperti makan, minum, berdiri dan duduk merupakan perkara mubah yang tidak memiliki konsekuensi hukum.

Saya dapat tambahkan, hal ini dikarenakan semua manusia melakukannya dan Nabi Muhammad juga terikat dengan budaya setempat dalam cara makan dan minum. Ini boleh jadi masuk ke dalam kategori etika saja, bukan kategori hukum. Mengikutinya dibenarkan, tapi tidak menirunya tidak akan berdosa. Saya bisa beri contoh misalnya cara makan Rasul dengan 3 jari memang cocok dengan menu dan pola makan di Arab sana, tapi agak sulit diterapkan di tanah air pas lagi makan sayur lodeh atau di negeri lain yang makan pakai sumpit.

Kedua, ada perbuatan yang khususiyah dilakukan oleh Nabi. Perbuatan yang bagi umatnya sunnah, tapi wajib dilakukan Nabi seperti shalat tahajud. Atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh umatnya tapi secara khusus dibenarkan untuk Nabi, seperti menikahi perempuan lebih dari empat, dan berpuasa wishal (terus menerus tanpa berbuka). Sebagai manusia khusus, tentu ada amalan ataupun perlakuan khusus juga untuk beliau SAW. Khususiyah ini tidak berlaku untuk umat Islam dan karenanya tidak masuk kategori hukum.

Ketiga, perbuatan Nabi yang secara tegas dijelaskan sebagai pelaksanaan ataupun penjelasan terhadap ibadah seperti shalat dan haji berdasarkan dalil syar’i yang wjaib dijadikan pedoman oleh umat Islam. Misalnya Rasul bersabda: “ambillah cara manasik hajimu dari saya” atau “shalatlah kamu sebagaimana aku shalat”. Perbuatan Rasul dalam hal ibadah kategori inilah yang memiliki konsekuensi hukum.

Penjelasan Imam al-Amidi ini sangat penting untuk meletakkan secara proporsional nilai etika yang masuk kategori sunnah (perbuatan atau tradisi) Rasul dan mana contoh sunnah Rasul yang masuk kategori hukum, dan karenanya bisa bermakna wajib, mandub, atau mubah. Artinya tidak semua hal yang dianggap sunnah Nabi itu hukumnya wajib kita laksanakan seperti yang dijelaskan di atas.

Di atas etika dan hukum ada kategori yang paling puncak yaitu cinta. Mengikuti Rasul berdasarkan kecintaan kita kepada beliau SAW. Ini sudah melampaui kategori yang dipaparkan Imam al-Amidi. Ini hubungan khusus yang hanya bisa dinilai dengan sebuah rintihan dalam hening.

Nadirsyah Hosen