وَجَدْتُ موَدَّةَ الأعمى، وَعَدَاوَةَ الْعَاقِلِ، أُسْوَةً فِي الْخَطَرِ

Dukungan dari pendukung yang buta/fanatik sama bahayanya dengan permusuhan dari musuh yang brilian”. ~Sahl bin Harun.

Nuansa kampanye PILPRES 2024 sudah mulai bergulir, riak dan ombak terdengar berarak keberbagai jalan dataran setapak, rukun keluarga dan tetangga kini mulai terusik dan tercabik – cabik, tiupan angin fanatik buta kian terasa kencang dan tegang di era politik post truth (era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran dengan cara memainkan emosi dan perasaan) yang kian meradang, tidak sedikit orang sudah khilap dan kalap membela jagonya dengan tanpa malu memperkosa norma sosial dan norma agama, menceraikan akal sehat tanpa melihat dan berpikir ulang “äpakah ini yang Allah sukai?”. Rasa simpati dan empati dalam spektrum ngaji rasa sebagai pondasi agama telah hilang tergadaikan. Tahun politik acapkali membutakan ikatan persaudaraan dan membuat tuli pendengaran cinta dan citra sosial yang dulu telah terbangun oleh para leluhur.

Fenomena musiman tersebut tak aneh lagi bagi para penggiat bijak bestari kehidupan (orang-orang arif). Mereka sudah faham manakala memasuki musim politik maka suara genderang sumbing berbunyi lantang bak perang, hoaxs politik bertebaran baik dari peserta politik, timses politik, agen politik dan para fans yang sangat fanatik, konten hoaxs politik bisa berisi kampanye negatif (membombardir masyarakat tentang kesalahan dan kejelekan lawan politik yang tidak benar atau belum pasti) ataupun kampanye hitam (menuduh lawan dengan tuduhan palsu atau belum terbukti) dan lain sebagainya. Lebih mirirs lagi manakala ada ustadz – ustadzan dan ilmuan-ilmuanan (gadungan) yang di karbit oleh mesin politik makin bertebaran untuk melatih lidah orang-orang awam agar lincah menyayikan lagu – lagu hinaan (saling share narasi negatif, foto ataupun video di berbagai platform media sosial yang bernada kebencian, menakut – nakuti dengan cara mengaduk – aduk emosi dan perasaan publik), dan juga melakukan tarian merendahkan pada orang yang berbeda pilihan dengan liukan – liukan yang berpotensi memecah belah persaudaraan dan persatuan dengan dalih inilah suara Tuhan.

Tempat-tempat khusus yang sakralpun hampir tak luput dari bidikan oleh sebagian para politikus rakus yang telah merekrut para calo/buzzer offline dan online musiman yang ia sebarkan di tengah kota dan pelosok pedesaan, mulai dari lembaga kemasyarakatan, lembaga pendidikan sampai lembaga keagamaan, disana telah terpasang ranjau – ranjau kekuasaan oplosan temporal, gaji dari profesi buzzer musaiman ini memang sangat menggiurkan mulai dari Rp 1 juta – 50 jutaan (menurut penelitian Oxford University). Dalam forum-forum kajian agamapun tak sedikit dari para tokoh agama mulai bertambah peran menjadi dalang wayang perpolitikan, bahkan ada sekelas guru/ustadz yang dinilai sebagai tokoh pun tidak sedikit bisa memaki dan menghardik lawan bicaranya yang dinilainya berbeda pandangan dengan kata – kata aji keabnormalan menurut adat ketimuran, jika sang ustadz berkata agama dapat mempersatukan umat dan menguatkan bangsa, tetapi di sisi lain ia juga telah melakukan pelanggaran ajaran agama yang memesankan agar selalu memupuk dan mengutamakan persaudaraan diatas wayang perpolitikan yang ia nobatkan sebagai jagoan tanpa noda kekurangan. Mungkinkah tidak memahami bahwa audiens’nya itu beragam dan mungkin lebih dekat dengan Tuhan? dengan tanpa malu ia sebarkan virus-virus kebencian dengan argumen data-data bohong ataupun lemah di tangan yang diyakini paling valid dan relevan, dengan latahnya ia lakukan olokan dan cacian kepada calon yang bukan pilihannya tanpa ragu dan malu. Apakah lupa dengan status dan tugasnya sebagai agamawan?

Ada yang perlu difahami oleh kita bersama bahwa dalam disiplin ilmu agama dan ilmu sosial, ikhtilaf (perbedaan pandangan) adalah sunnatullah dan hal tersebut wajar dan bernilai keberkahan bagi kita hambaNya yang berfikir. Sebagai contoh perdebatan antara ulama ataupun ilmuan biasanya terletak pada perbedaan sudut pandang ataupun pada sisi metodologinya terhadap suatu fakta, mereka yang sejati sudah sangat terbiasa menyandingkan sudut pandang mereka tanpa memaksakan kehendak, ucapan dan tindakan mereka saat beradu argumen dari sudut pandang itu sangat mencerahkan dan mencerdaskan bagi jamaahnya, bukan malah sebaliknya yang malah mengkultuskan/fanatik dan memusuhi yang berbeda pilihan. Hal lain juga perlu dicatat adalah suhu politik itu dimanapun akan seperti itu hangat lalu memanas, maka perlu disadari dan disikapi dengan arif dan bijaksana, sedangkan kuncinya itu ada ditangan kita semua. Dengan demikian perlu diketahui dan difahami agar kita tidak bertindak gegabah dalam memilih. Pemilih di Indonesia bila diklasifikasikan itu terdapat 3 tipe :

1.Pemilih Emosional

Pemilih yang memiliki hubungan emosional sangat kuat dengan identitas yang membentuk dirinya sejak lahir (paham ideologis, agama, dan budaya). Pemilih emosional terbagi dua: 1).Pemilih aktif – emosional : Sangat mudah terprovokasi dan sangat cepat merespons isu identitas, 2).Pemilih pasif – emosional: pemilih yang tidak menampakkan emosinya secara terang benderang.

2. Pemilih Rasional – Emosional

Pemilih yang cenderung akan diam ketika melihat isu yang bersifat agama, identitas dan simbolik digaungkan karena mereka membutuhkan waktu untuk memproses informasi tersebut. Merupakan tipe yang punya pandangan konservatif secara nilai, tapi ia lebih rasional dalam mengambil tindakan.

3. Pemilih Rasional

Pemilih yang mengesampingkan faktor emosional dalam memaknai  suatu informasi. Kelompok ini termasuk dalam kategori kritis dan skeptis, tipe ini yang paling ideal dalam politik elektoral.

Dengan demikian, tidaklah cukup memilih dengan cerdas, namun juga harus dibarengi hati nurani yang bersumber dari suara Ilahi (minta petunjuk Allah dengan shalat) mana yang terbaik menurutNya, karena setiap pilihan itu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing – masing, junjung tinggi respek terhadap lain pilihan dan komit terhadap apa yang diyakini, tanpa menjelek – jelekkan, jelaskan dengan santun atau diam !!!

Maksud dari memilih dengan cerdas itu paling tidak menggunakan ilmu filsafat untuk berfikir secara tertib, benar, luas lagi mendalam, karena ia berisi ontologi (yang membicarakan hakikat sesuatu), epistemologi (yang membicarakan cara memperoleh sesuatu), dan aksiologi (yang membicarakan manfaat sesuatu) dan juga diperkuat dengan ilmu alat dari ulama yaitu kaidah fiqih sosial, sebagai contoh menggunakan kaidah:

إذا تعارض المفسدتان رعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما

Ketika dihadapkan pada dua mafsadah (kerusakan), maka tinggalkanlah mafsadah yang lebih besar dengan mengerjakan yang lebih ringan (keburukannya)”.

واعلم أن تقديم الأصلح فالأصلح ودرء الأفسد فالأفسد مركوز في طبائع العباد … ولا يُقدَّمُ الصالح على الأصلح إلا جاهل بفضل الأصلح أو شقيٌ متجاهل لا ينظر إلى ما بين المرتبتين من التفاوت

“Ketahuilah, mendahulukan sesuatu yang lebih maslahat demi kemaslahatan yang lebih besar, menolak kemafsadatan (kerusakan) karena adanya kemafsadatan yang lebih besar lagi adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia… Tidaklah mendahulukan suatu maslahat demi meninggalkan kemaslahatan yang lebih besar kecuali hanya orang yang bodoh, tidak mengetahui pentingnya kemaslahatan yang lebih besar, atau ia orang yang celaka dan membutakan diri, tidak mau melihat kepada perbedaan dua derajat kemaslahatan itu.” (‘Izz al-Dîn ibn Abdu al-Salâm, Qawâ’idu al-Ahkâm fi Mashâlihi al-Anam Juz 1, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., 7).

Kaidah/teks di atas, adalah metodologi dari Syekh Izzu al-Dîn ibn Abdu al-Salâm seorang sulthanul ulama (rajanya para ulama). dalam memandang kemaslahatan secara ringkas adalah: (1) terlihat, (2) ada sebab yaitu timbulnya kemaslahatan yang lebih besar, (3) jelas perbedaannya antara kedua kemaslahatan tersebut, dan (4) dapat diukur. Tidak ada sesuatu yang bisa dianggap sebagai ashlah (lebih maslahat) tanpa pengukuran, dan pengukuran ini hanya ada pada metodologi riset. Dengan demikian, sesuatu dianggap maslahat bila ada data yang menunjuk kepada lebih maslahatnya itu. Jadi, kata kuncinya adalah “data. Adapun posisi nash adalah sebagai kalibrasi atau tolok ukur dan shalat (istikharah) sebagai penguat dan ketenangan. Jika kita mencari yang sempurna itu hampir mustahil, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah semata, sebagaimana dikatakan oleh beliau pula:

واعلم أن المصالح الخالصة عزيزة الوجود. فإن تحصيل المنافع المحضة للناس كالمأكل والمسكن لا يحصل إلا بالسعي في تحصيلها بمشقة الكد والنصب. فإذا حصلت فقد اقترن بها من المضار والآفات ما ينغصها

“Kemaslahatan murni itu sangat sulit terwujud. Upaya mencapai kesejahteraan bagi masyarakat seperti di bidang pangan dan papan hanya bisa diraih dengan jerih payah dan perjuangan keras. Karena itulah kemaslahatan yang diraih (nyaris selalu) bercampur dengan sisi mudarat yang mengiringinya.” (‘Izz al-Dîn ibn Abdu al-Salâm, Qawâ’idu al-Ahkâm fi Mashâlihi al-Anam Juz 1, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., 7).

Dari dua kaidah fiqih di atas sangat korelatif untuk dijadikan landasan berfikir dalam memilih, hindari fanatisme buta! karena ia seumpama ejakulasi dini kejiwaan yang dampaknya sangat merugikan bagi diri dan sekitarnya, di lain sisi kita harus melek terhadap politik (edukasi politik) agar mendapatkan landasan dasar data relevan.

Akhir kata saya tutup dengan maqolah Imam Syafií:

وَعَينُ الرِضا عَن كُلِّ عَيبٍ كَليلَةٌ

وَلَكِنَّ عَينَ السُخطِ تُبدي المَساوِيا

Mata yang simpati/suka menutupi segala cela/kekurangan

Mata yang benci melihat semua nista/buruk

Kalau sudah suka dengan “A” ataupun “B” acapkali tak terlihat cela/aib mereka. Kalau sudah benci maka tak selamat keduanya dari lisan yang menista. Wallahu a’lam.

أللهم قني شر نفسي واعزم على رشدي أمري ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا

Semoga Allah memperbaiki kondisi para penguasa dan pemimpin bangsa ini dan kaum muslimin. Aamiin

By: Ahmad Idhofi