Kalau kita telusuri pendapat para ulama, paling tidak kita bisa mendapatkan tiga kecenderungan yang berbeda dalam menanggapi masalah hadits dhaif.
1. Kelompok Pertama
Mereka adalah kalangan yang secara mutlak menolak mentah-mentah semua hadits dhaif. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nashehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya.
2. Kelompok Kedua
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.
Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
- Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
- Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
- Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
- Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
3. Kelompok Ketiga
Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarokdan yang lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata,’Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”
Hadits Dhaif Berbeda dengan Hadits Palsu
Perlu untuk kita ketahui bersama bahwa hadits dhaif itu sendiri berbeda sekali dengan hadits palsu. Hadits dhaif masih dianggap sebagai hadits nabi, hanya saja sebagian ulama dengan kriteria yang sangat ketat menganggap bahwa sebagian perawinya tidak lulus standar ‘adil dan dhabith yang mereka tetapkan. Sementara ulama hadits lainnya, mungkin tidak seketat mereka dalam mencari cacat dan aib seorang perawi hadits.
Dan yang paling terkenal sangat ketat dalam masalah menyeleksi para perawi hadits adalah Al-Imam Al-Bukhari dan juga Al-Imam Muslim. Pantaslah kalau kedua kitab shahih mereka dinobatkan menjadi kitab tershahih kedua dan ketiga setelah Al-Quran. Hal itu lantaran mereka berdua sangat streng, ketat, tajam dan ‘tidak kenal ampun’ dalam upaya mereka.
Konon dari sekitar 50 ribuan hadits yang Al-Bukhari seleksi, hanya tersisa sekitar 5.000-an saja yang dianggap shahih. Itu pun ada banyak hadits yang terulang-ulang. Sehingga angka sesungguhnya hanya sekitar 2.000-an hadits saja.
Rupanya, tidak semua hadits yang dianggap tidak lolos seleksi itu pasti dhaifnya. Sebab di luar hadits shahih yang ditetapkan oleh Al-Bukhari, masih banyak hadits shahih. Contohnya adalah kitab shahih yang disusun oleh Imam Muslim. Banyak sekali hadits yang tidak lolos seleksi oleh Al-Buhari, tapi oleh Imam Muslim diloloskan. Dan berlaku juga dengan sebaliknya.
Kalau pada hadits shahih, para ulama hadits telah berbeda pendapat dalam penentuannya, maka demikian juga halnya dengan hadits dhaif, mereka pun sudah pasti berbeda pendapat juga. Maka sangat mungkin ada sebuah hadits yang dikatakan dhaif oleh si fulan, tetapi tidak didhaifkan oleh ulama lainnya.
Kesimpulannya, khilaf atau beda pendapat itu bukan terjadi di kalangan ahli fiqih saja, tetapi di kalangan ahli hadits pun tidak kalah serunya perbedaan itu.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.