Banyak orang pintar yang jago meneliti dan tulisan hasil risetnya begitu keren, namun ketika ia mengajar di depan kelas, mahasiswa tertidur mendengarkan materi kuliahnya yang menjemukan. Sementara sebaliknya, banyak dosen yang jago ngomong dan membuat perkuliahan terasa segar tapi apa yang dia sampaikan bagaikan memutar ulang lagu yang itu-itu saja –tidak ada data riset baru yang dia sampaikan karena memang dia jarang sekali meneliti. Kurang update, kalau kata anak muda sekarang.
Di dunia akademik, dosen dituntut untuk hebat dua-duanya: riset dan mengajar. Kalau hanya jago riset, ya cukup jadi peneliti saja. Kalau hanya pintar mengajar dan tidak melakukan riset maka cukup mengajar di tingkat SMU saja. Bahkan di kampus yang sudah masuk kategori world class research university sekalipun aspek teaching tetap menjadi perhatian penting.
Salah satu metode yang tengah dikembangkan adalah menjadikan mahasiswa sebagai pusat pembelajaran. Jadi, dosen bukan sekedar menjadi aktor utama dalam lakon monolog tapi aktif menjadi kawan dialog dengan mahasiswa. Kalau cuma monolog ya apa bedanya dosen dengan khatib Jum’at?
Saat ini dalam era digital, mahasiswa bisa dengan mudah mendapatkan info apapun termasuk materi yang diajarkan dalam perkuliahan. Maka metode menghafal sudah banyak ditinggalkan. Kenapa harus menghafal kalau info yang dicari semuanya ada di internet? Ini akhirnya mempengaruhi cara dosen mengajar. Dosen yang hebat itu bukan sekedar mentransfer ilmunya tapi juga mampu menginspirasi mahasiswanya untuk terus mencari pengetahuan di luar kelas. Kalau mahasiswa tertarik dengan penjelasan dosen di dalam kelas, dia akan mencari tambahan info di luar kelas, termasuk ke perpustakaan atau internet.
Yang mengkhawatirkan sekarang adalah mahasiswa generasi media sosial ditengarai tidak lagi rajin membaca literatur. Buku-buku tebal itu dianggap bahasannya sudah berat dan sajiannya tidak interaktif dan atraktif. Walhasil, mahasiswa lebih banyak membaca status facebook atau kultwit di twitter. Banyak pakar yang khawatir bahwa generasi medsos ini adalah generasi yang paling malas baca buku atau hadir di perkuliahan.
Pada satu sisi sajian di media sosial yang disampaikan para dosen dan peneliti itu merupakan hasil ramuan dan ringkasan pengetahuan atau bacaan mereka, namun tentu saja itu tidak akan mendalam dan bagaikan irisan bawang yang disampaikan baru kulit luarnya saja. Sebaiknya sajian yang menarik di medsos mampu menginspirasi untuk pembacanya mencari info lebih lanjut. Jadi, pembaca tdak hanya berhenti di share atau retweet saja.
Candaan saat ini dengan beberapa kolega saya di Monash yang juga aktif di medsos: dosen kini tidak hanya dituntut jago meneliti dan pintar ngomong di depan kelas, tapi juga harus rajin update status di medsos, dan berapa banyak followers di medsos seharusnya juga digunakan untuk menentukan ‘impact factor’ riset kita.
Mudah-mudahan kami para dosen tidak keasyikan main twitter dan facebook sehingga melupakan tugas utama yaitu meneliti dan mengajar, dan kawan-kawan mahasiswa tidak lupa untuk tetap membaca buku-buku tebal selain mengakses medsos.
Ungkapan klasik al-Ilmu fis sudur la fis sutur (ilmu itu tersimpan di dalam dada bukan di kertas), masihkah relevan kini? Yang terjadi sekarang ilmu itu tersimpan di hp dan ditaruh di saku baju depan dekat dada
Nadirsyah Hosen