Benarkah Muslim itu Harus Keras Terhadap Orang Kafir? Tafsir Surat al-Fath:29

Benarkah Muslim itu Harus Keras Terhadap Orang Kafir? Tafsir Surat al-Fath:29

Surat al-Fath berjumlah 29 ayat yang semuanya turun dalam konteks perjanjian Hudaibiyah. Oleh karena itu, memahami ayat terakhir dalam surat ini juga tidak bisa sepotong-sepotong, karena kita harus memahami keseluruhan konteks ayat-ayat sebelumnya, plus pemahaman utuh tentang perjanjian Hudaibiyah. Inilah yang dilakukan oleh Imam al-Alusi, pengarang Tafsir Ruhul Ma’ani yang harus berpanjang lebar menceritakan peristiwa Hudaibiyah sebelum menjelaskan potongan ayat 29 di bawah ini:

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…

Kesalahpahaman akibat kegagalan memahami pesan utuh ayat ini sering terjadi dan berpotensi menimbulkan gesekan sosial di masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia. Kita saksikan sebagian saudara kita yang pasang wajah kusam dan angker kepada non-Muslim atau juga kepada sesama Muslim yang sudah mereka anggap kafir. Tak ada senyum dan tak ada ramah tamah. Mereka bahkan menyalahartikan ayat ini sebagai kewajiban bersikap kasar kepada orang kafir karena kata “keras” dipahami sebagai permusuhan.

Sebagian saudara-saudara kita juga bersikap mencurigai kebaikan orang kafir dan menoleransi keburukan orang Islam karena memahami ayat di atas secara harfiah tanpa memahami konteksnya. Pendek kata, semua tindakan orang kafir dicurigai dan ditolak, dan semua hal yang tidak benar dari sesama Muslim diterima begitu saja

Konteks ayat di atas adalah suasana ketegangan, bukan ayat di masa tenang atau damai. Jadi, memberlakukan ayat itu dalam konteks keseharian kita berinteraksi sosial tentu kurang pas. Ketika Rasulullah SAW bermimpi memasuki kota Mekkah sebagai sebuah kemenangan yang dekat (fathan qariban), maka para sahabat dan Rasul bersama-sama hendak memasuki kota Mekkah berhaji pada tahun keenam hijriah. Singkat cerita, kaum kafir Mekkah menghadang dan memaksa Rasulullah dan sahabat kembali ke Madinah lewat sebuah perjanjian di daerah Hudaibiyah, dimana menurut para sahabat utama seperti Umar bin Khattab, perjanjian tersebut amat sangat merugikan umat Islam

Sejumlah orang munafik mengambil kesempatan untuk menimbulkan kegaduhan, seperti terekam dalam ayat-ayat awal surat al-Fath. Allah pun menenangkan umat Islam yang seolah patah semangat bahkan ada pula yang mempertanyakan kebenaran mimpi Rasul sebelumnya. Surat al-Fath turun dalam suasana yang demikian. Di akhir surat, Allah menegaskan kembali kebenaran mimpi Rasul, kepastian kemenangan (yang terbukti saat Fathu Makkah) dan kebenaran bahwa Muhammad itu seorang utusan Allah. Di ayat 29 inilah Allah seolah hendak mengatakan: “jangan kalian ribut dan ragu sesama kalian, kalian harus saling berkasih sayang dan berlemah lembut diantara kalian, dan sifat keras dan tegas itu seharusnya ditujukan pada orang kafir bukan pada sesama kalian!”.

Ibn Abbas menafsirkan ayat 29 surat al-Fath yang sedang kita bahas ini khusus untuk para sahabat yang menyaksikan peristiwa Hudaibiyah. Sahabat Nabi yang terkenal cerdas luar biasa ini menafsirkan sebagai berikut:

Muhammad itu utusan Allah, tidak seperti kesaksian Suhail bin Amr (yang memaksa Rasul untuk menghapus kalimat MuhammadRasulullah dalam naskah perjanjian Hudaibiyah dan diganti dengan Muhammad bin Abdullah saja); dan orang yang bersama Muhammad, yaitu Abu Bakar, ia termasuk orang yang pertama kali mengimani kerasulan Muhammad; keras terhadap orang kafir (maksudnya ini merujuk kepada Umar bin Khattab sebagai pembela Rasulullah), berkasih sayang sesama mereka (ini ditujukan kepada Utsman bin Affan). Lanjutan ayatnya: Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud (ini menyifatkan Ali bin Abi Thalib); mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya (ini menyifatkan Thalhah dan Zubair).

Al-Samarqandi dalam kitab tafsirnya Bahrul Ulum memberi penafsiran yang mirip dengan Tafsir Ibn Abbas di atas. Yang dimaksud bersama Nabi itu adalah Abu Bakar, yang keras itu Umar, yang berkasih sayang itu menyifatkan Utsman dan yang rajin ruku’ dan sujud itu Ali, sementara yang mencari karunia Allah dan keridhaannya itu adalah Zubair dan Abdurrahman bin Awf.

Penafsiran model Ibn Abbas di atas juga dikonfirmasi oleh Imam al-Alusi. Meski demikian beliau juga menyebutkan bahwa jumhur ulama menganggap penyifatan ini tidak hanya khusus untuk pihak tertentu yang menyaksikan peristiwa Hudaibiyah tapi merupakan sifat semua sahabat Nabi. Kalaupun kita terima pendapat jumhur ini, namun ini tidak berarti bahwa saat ini kita dibenarkan bersikap garang dan bermusuhan kepada orang kafir, karena semua ahli tafsir sepakat asbabun nuzul ayat di atas terikat erat dengan konteks ketegangan peristiwa Hudaibiyah.

Allah telah berfirman dalam Surat al-Mumtahanah ayat 8 mengatur relasi dengan pihak kafir:

Allah tidaklah melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Itu artinya, Muslim tidak dilarang berbuat baik kepada tetangga maupun kawan sepermainan atau kolega di kantor yang merupakan non Muslim. Dua bukti lain bisa kita lihat dalam sejarah Rasulullah. Pertama, ketika ayat assyidda’u ‘alal kuffar (al-Fath: 29) di atas turun, justru Rasulullah sedang bersikap ‘lunak’ kepada orang kafir dalam perjanjian Hudaibiyah bukan sedang memerangi mereka.

Kedua, ketika peristiwa Fathu Makkah terjadi, Rasulullah juga bersikap lemah lembut kepada penduduk Makkah, bahkan Abu Sufyan pun mendapatkan perlindungan dari Rasulullah. Itulah sebabnya Rasulullah disebut sebagai al-Qur’an berjalan, karena beliau tidak mengikuti hawa nafsu, amarah maupun dendam permusuhannya, tetapi benar-benar merupakan perwujudan rahmat bagi semesta alam.

Wa ma yanthiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyu yuha (tidaklah Ia bicara berdasarkan hawa nafsunya melainkan apa-apa yang diwahyukan kepadanya) QS 53:3-4

Tabik,

Nadirsyah Hosen

Belajar Sunnah Nabi dari Imam Sayfuddin al-Amidi

Belajar Sunnah Nabi dari Imam Sayfuddin al-Amidi

Suatu malam Sayfuddin bermimpi berkunjung ke rumah Imam al-Ghazali. Dalam mimpi itu beliau seolah diberitahu untuk memasukinya dan melihat peti. Dia pun membukanya dan melihat jenazah Imam al-Ghazali. Lalu Sayfuddin menyingkap kafan yang menutupi wajahnya dan menciumnya.

Sayfuddin ini kelak dikenal dengan nama Imam Sayfuddin al-Amidi (1156-1233). Semula beliau mengikuti mazhab Hanbali sewaktu beliau masih kecil sesuai dengan lingkungannya saat itu. Kemudian beliau berguru pada Syekh Abul Qasim Ibn Fadlan yang bermazhab Syafi’iSayfuddin Amidi juga lebih cocok dengan aqidah Asy’ariyah. Maka jadilah beliau seorang ulama terkemuka dari Mazhab Syafi’i yang Sunni Asy’ari. Dari Baghddad, beliau pindah ke Mesir dimana beliau mendapati fitnah dari sebagian pihak yang menuduhnya sesat, kemudian beliau pindah ke Damaskus dan menulis kitab Ushul al-Fiqh yang sangat terkenal, yaitu kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kitab ini merangkum dan menjelaskan masalah dalil dan kaidah istinbath dari empat kitab utama: al-‘Amd, al-Mu’tamad, al-Burhan dan al-Mustasfa.

Nama Kitab terakhir, al-Mustasfa, merupakan karya Imam al-Ghazali. Inilah pengaruh mimpi spiritual Sayfuddin al-Amidi yang mencium jenazah Imam al-Ghazali. Beliau sendiri menuturkan: “selepas mimpi itu aku berkata pada diriku sendiri untuk mengambil perkataan Imam al-Ghazali. Kemudian dalam waktu singkat aku hafal isi kitab al-Mustasfa karya Imam al-Ghazali”.

Murid Imam al-Amidi yang sangat terkenal adalah Syekh Izzudin Abdus Salam. Beliau berkata tentang gurunya: “Tidak saya pelajari kaidah-kaidah pembahasan kecuali dari Imam al-Amidi.” Atau di kesempatan lain, “Tidak saya dengar pengajaran yang paling bagus mengenai kitab al-Wasitnya Imam al-Ghazali seperti yang disampaikan oleh Imam al-Amidi” dan ungkapan-ungkapan senada lainnya yang mengagumi Imam al-Amidi. Syekh Izzudin ini pada masanya digelari Sulthan-nya ulama.

Salah satu pembahasan penting dalam kitab ushul al-fiqh karya Imam al-Amidi adalah mengenai kedudukan Sunnah Nabi. Beliau mengemukakan bagaimana para pakar Ushul al-Fiqh berbeda pandangan mengenai perbuatan Nabi yang menjadi dalil syar’i. Kemudian beliau memaparkan pandangannya.

Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan hal biasa yang dilakukan manusia pada umumnya seperti makan, minum, berdiri dan duduk merupakan perkara mubah yang tidak memiliki konsekuensi hukum.

Saya dapat tambahkan, hal ini dikarenakan semua manusia melakukannya dan Nabi Muhammad juga terikat dengan budaya setempat dalam cara makan dan minum. Ini boleh jadi masuk ke dalam kategori etika saja, bukan kategori hukum. Mengikutinya dibenarkan, tapi tidak menirunya tidak akan berdosa. Saya bisa beri contoh misalnya cara makan Rasul dengan 3 jari memang cocok dengan menu dan pola makan di Arab sana, tapi agak sulit diterapkan di tanah air pas lagi makan sayur lodeh atau di negeri lain yang makan pakai sumpit.

Kedua, ada perbuatan yang khususiyah dilakukan oleh Nabi. Perbuatan yang bagi umatnya sunnah, tapi wajib dilakukan Nabi seperti shalat tahajud. Atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh umatnya tapi secara khusus dibenarkan untuk Nabi, seperti menikahi perempuan lebih dari empat, dan berpuasa wishal (terus menerus tanpa berbuka). Sebagai manusia khusus, tentu ada amalan ataupun perlakuan khusus juga untuk beliau SAW. Khususiyah ini tidak berlaku untuk umat Islam dan karenanya tidak masuk kategori hukum.

Ketiga, perbuatan Nabi yang secara tegas dijelaskan sebagai pelaksanaan ataupun penjelasan terhadap ibadah seperti shalat dan haji berdasarkan dalil syar’i yang wjaib dijadikan pedoman oleh umat Islam. Misalnya Rasul bersabda: “ambillah cara manasik hajimu dari saya” atau “shalatlah kamu sebagaimana aku shalat”. Perbuatan Rasul dalam hal ibadah kategori inilah yang memiliki konsekuensi hukum.

Penjelasan Imam al-Amidi ini sangat penting untuk meletakkan secara proporsional nilai etika yang masuk kategori sunnah (perbuatan atau tradisi) Rasul dan mana contoh sunnah Rasul yang masuk kategori hukum, dan karenanya bisa bermakna wajib, mandub, atau mubah. Artinya tidak semua hal yang dianggap sunnah Nabi itu hukumnya wajib kita laksanakan seperti yang dijelaskan di atas.

Di atas etika dan hukum ada kategori yang paling puncak yaitu cinta. Mengikuti Rasul berdasarkan kecintaan kita kepada beliau SAW. Ini sudah melampaui kategori yang dipaparkan Imam al-Amidi. Ini hubungan khusus yang hanya bisa dinilai dengan sebuah rintihan dalam hening.

Nadirsyah Hosen

TASAWUF MILENIAL

TASAWUF MILENIAL

Tasawuf selama ini masih banyak disalah pahami oleh sebagian orang, tasawuf difahami secara parsial dan tidak seimbang. Tasawuf masih dipahami sebagai batu sandungan kemajuan peradaban karena konsep kehidupannya tidak relevan dan adaptif terhadap tantangan zaman. Dapat dimaklumi kekeliruan pemahaman akan kesimpulan tersebut berawal dari pengambilan premis yang tidak tepat. Kajian yang tidak komprehensip oleh sebagian kalangan tersebut akhirnya berakibat penolakan terhadap tasawuf.

Deskripsi konseptual tasawuf telah dijelaskan oleh Imam al-Ghazali, beliau menjelaskan bahwa tasawuf adalah ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan cara membersihkan hati dan mensucikan jiwa, guna memperoleh kebahagiaan sejati. Tasawuf juga dapat diartikan sebagai cara atau adab batiniah untuk mencapai makrifat (pengetahuan hakiki) dalam artian memperoleh hubungan langsung dengan Allah SWT, sehingga tasawuf telah berkontribusi pada seluruh struktur Islam, baik dalam perwujudan sosial maupun perwujudan intelektual. Kemudian al-Taftazani memaparkan bahwa tasawuf tidak berarti suatu tindakan pelarian diri dari kenyataan hidup sebagaimana telah dituduhkan oleh mereka yang anti terhadap tasawuf, tetapi ia merupakan usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah baru, merealisasikan keseimbangan jiwanya, sehingga timbul kemampuannya ketika menghadapi berbagai kesulitan ataupun masalah hidupnya yang akan menegakkannya pada saat menghadapi kehidupan materialis, hedonis dan konsumtif. Maka konsep tasawuf yang diberikan oleh al-Taftazani dapat berfungsi sebagai muara bagi tasawuf sebagai akhlak, yakni bentuk keperilakuan sufi yang berdasarkan kesucian hati,

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa tasawuf adalah moralitas dalam perspektif Islam. Dalam hal ini Ibn al-Qayyim dalam kitabnya Madarij al-Salikin, dengan para pembahas tasawuf yang telah sependapat, menjelaskan bahwa “Tasawuf adalah moral”. Pendapat ini juga diungkap oleh al-Kattani yang mengatakan “Tasawuf adalah moral”. Siapa di antara kamu yang semakin bermoral, tentulah jiwanya pun semakin jernih.” Atas dasar hal ini, jelaslah bahwa pada dasarnya tasawuf berarti moral yang bertumpu pada kejernihan hati sebagaimana pemahaman tersebut sangat korelatif dengan hadits nabi Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk, maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)”. Dengan pemaknaan seperti ini, tasawuf juga berarti semangat atau nilai spiritual Islam, karena semua ajaran Islam dikonstruksi di atas landasan moral.

Tanggung jawab Tasawuf terhadap Generasi Milenial

Saat ini tidak sedikit umat manusia telah kehilangan jalinan persaudaraan dan hubungan kemanusiaan. Tidak ada kepatuhan terhadap prinsip-prinsip agama, tidak mengikuti sunnah Nabi. Tidak ada cinta, kasih sayang, dan keadilan; apa yang tersisa adalah manipulasi, eksploitasi, ketidak jujuran, keserakahan. Untuk konteks inilah sufisme menawarkan obat untuk kejahatan-kejahatan ini. Sufisme menawarkan dukungan kepada setiap individu dengan melatihnya di dalam nilainilai yang diperlukan seperti menghormati hubungan dan kehidupan serta apresiasi kepada cinta.

Krisis dekadensi moral secara umum dan berawal terjadi pada kalangan anak muda, karena secara everage fase tersebut merupakan masa pencarian dan penjajakan jati diri, mereka mengalami ketimpangan dan ketidak harmonisan jiwa akibat dari salah pergaulan dan mininya bimbingan dari orang tua dan gurunya, mereka banyak menerima oase kehidupan agama dalam bingkai mauidhah hasanah, namun tidak menemukan model panutan kehidupan dalan bingkai uswatun hasanah. Problem tersebut muncul karena konsep keberimanan hanya dapat menyentuh dimensi eksoterik tanpa menyelami pada dimensi esoterik, hal ini diperparah dengan model implementasi dari konsep dan sistem pendidikan yang selama ini tidak ideal dengan hanya mengandalkan dan menekankan perkembangan kompetensi kognitif semata, tidak dinamis dengan kompetensi afektif dan psikomotorik mereka.

Dalam konsep sufisme mengajarkan dan menawarkan nilai-nilai sufistik sebagai berikut: Sufi mengajarkan dan mengarahkan kepada kehidupan dan nilai-nilai yang dipegang oleh Nabi Muhammad SAW, mengajarkan untuk menghormati dan menghargai orang lain dan perlakuan yang sama untuk semua orang, mengajarkan cinta kepada manusia, hewan, bunga, buah-buahan, daun, dan pohon, siang dan malam, dan semua ciptaan Tuhan, mengajarkan perkataan yang sopan, sehingga tidak ada orang yang terluka, karena cinta adalah agama sufi, mengajarkan kemurnian pandangan untuk memastikan kemurnian jiwa, Sufisme mengajarkan kita untuk menghindari hal-hal yang terlarang, Sufisme mengajarkan kita untuk tidak menggunakan tangan dalam setiap perbuatan yang salah.

Terdapat tiga pokok dasar penting dalam mendisain generasi milenial. Pertama, Tasawuf menampilkan pribadi yang agresif dan progresif sebagai pribadi Mujahid yang selalu siap dan tanggap, pribadi tersebut dijewantahkan dalam: (1) pemaknaan nilai-nilai utama tasawuf ke dalam praksis relasi sosial berskala lokal, nasional, dan global, (2) Respon terhadap problem-problem dunia, seperti dalam pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik.

Kedua, generasi milenial (disebut juga generasi Y) adalah generasi yang lahir pada kisaran tahun 1981 sampai dengan 2000. Mereka memiliki kurang lebih sembilan poin karakteristik antara lain: percaya pada nilai-nilai moral dan sosial, memiliki rasa optimis yang tinggi, percaya diri, berfokus pada prestasi, dikuasai oleh teknologi dan fanatik terhadap pengunaan media social dsb. Dari beberapa model karakter mereka tersebut jika diarahkan dan dibina dengan baik maka akan menjadi pribadi Mujtahid dalam artian umum menjadi pribadi yang kompeten dan kontributif dalam problem solving, memiliki dedikasi yang tinggi dalam menggerakkan dan membangun masyarakatnya berdasarkan karakteristiknya yang aktif, kreatif dan inovatif.

Ketiga, Perhatian serius tasawuf kepada generasi milenial dapat dipetakan dengan tiga bentuk tanggung jawab, yaitu: (a) Pengembangan karakter yang positif terhadap delapan poin karakter profetik yaitu: (1) Murah hati seperti Nabi Ibrahim AS, (2) Ridha seperti Nabi Ismail AS, (3) Sabar seperti Nabi Ayub AS, (4) Mampu berkomunikasi melalui isyarat dan symbol seperti Nabi Zakaria AS, (5) Uzlah atau banyak tafakkur seperti Nabi Yahya AS, (6) Pola hidup sederhana seperti Nabi Musa AS, (7) Memiliki karakter kesatria pengembara seperti Nabi Isa AS, dan (8) Rendah hati seperti Nabi Muhammad SAW. (b) Pembinaan etika sosial, dan (c) Peneguhan arah dan spiritualitas hidup sampai menuju insan kamil. Bentuk terakhir ini merupakan puncak tanggung jawab tasawuf terhadap generasi milenial. Isi puncak ini adalah dengan bimbingan tasawuf, apapun yang dimiliki oleh generasi milenial merupakan anugerah Allah yang patut disyukuri dan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk membangun prestasi hidup mereka. Problem apapun yang dihadapi oleh mereka dihadapinya dengan segenap kemantapan spiritualitas dengan kecerdasan usaha dan kesungguhan doa. Hidupnya diorientasikan untuk pengembangan prestasi dan peningkatan kontribusi kebaikan dalam rangka menjalankan perintah Allah SWT. Semua ini merupakan manifestasi “al-ihsan” dalam hadits Nabi SAW yang menjadi akar dari sufisme.

Ahmad Idhofi

Takriman wa Takdziman lil Mahabbah Tradisi NU yang mulai tergeser

Takriman wa Takdziman lil Mahabbah Tradisi NU yang mulai tergeser

Pesantren ada sebelum jaman kemerdekaan dan ulama-ulama pendiri NU lah sang pelopor pendirian pesantren di Indonesia. Para ulama tentu berkiblat pada pendahuluan yaitu para wali dan sunan yang menerapkan pendidikan khusus dengan perhatian khusus bertujuan menciptakan kader ulama yang pintar, benar dan militan, para ulama mengumpulkan santri dalam satu lingkungan khusus memiliki nilai sosial yang tinggi, dimana sistem sosial dibangun sejak awal dalam sistim nilai sosial tersebut terdapat kebersamaan, kepedulian dan saling menghormati antara satu dan yang lainnya. Di sisi lain kenakalan yang terjadi dilingkungan santri juga merupakan gambaran sosial dimasyarakat luas, dalam hal ini santri belajar menyelesaikan permasalahan yang terjadi, tak dapat di pungkiri dilingkungan pondok ada budaya syarik ( pencurian ) Gosoban ( mengambil hak orang lain, contoh sendal dipake tanpa izin ) dan Gasakan ( saling ledek ) dll, permasalahan sosial dilingkungan sanrtri tentu juga terjadi dilingkungan masyakat luas bahkan lebih besar lagi. Pembelajaran itu akan membekas setelah santri selesai dan kembali kelingkungan masyarakat. Itulah keunikan dunia pesantren khususnya pesantren bergaya salafiyah.

Para kyai mendirikan pesantren memiliki tujuan utama yaitu pembinaan akhlak yang diajarkan dan diawasi 24 jam penuh. Interaksi antara kyai dan santri dilakukan secara langsung dan tidak langsung, secara langsung melalui pembelajaran kitab-kitab akhlak seperti kitab Ta’lim mutalim, Taisyrul kholaq,  akhlakul banin, dll. Secara tidak langsung kyai mengawasi penerapan pembelajaran akhlak kepada setiap santri melalui pengurus atau petugas khusus. Akhlak menjadi perhiasan utama bagi orang yang berilmu oleh karena itu akhlak jadi tumpuan utama keberhasilan pondok pesantren. Di wilayah timur Cirebon sampai Madura ciri utama santri dengan non santri yang akhlaknya sikap dan gaya bicara benar-benar menjadi modal utama, tidak ada santri yang berani menatap wajah kyai, tidak ada santri yang balapan jalan dengan kyainya dan tidak ada santri yang lewat depan kyai bahkan tidak bicara sebelum disuruh bicara.

Dalam kitab-kitab akhlak terrangkum dalam satu kalimat yang difahami dan jadi budaya yang hidup dalam diri santri, kalimat itu adalah Takriman wa Takdziman lil Mahabbah. Bisa dikatakan bahwa Takriman wa Tadziman adalah hasil akhir minimal yang harus diraih oleh para santri, walau kemampuan kitab minim tapi hasil akhir terlihat bagus maka semua itu akan tertutupi karena baju akhlak itu menutupi keterbatasannya sebaliknya kemampuan kitab maksimal tapi tidak ditutupi baju akhlak maka jauh dari kesempurnaan diri dan jauh dari pengakuan sosial masyarakat. Banyak contoh kasus dari keunikan Takriman wa Takdziman ini, ( dalam tulisan berikutnya )

Keberhasilan Takriman wa Takdziman bergantung kepada budaya yang diciptakan oleh para Kyai pengasuh pondok. Budaya Takriman adalah budaya memuliakan kyai dan keluarga kyai di wilayah timur anak kyai terkecil pun sangat dimuliakan maka mereka di hormati dengan gelas Gus, Ning, Kang, Nok, Lora dan Cep kalau di Barat agar tidak menyebut namanya terasa tabu apabila langsung dipanggil namanya selain itu memberikan pelayanan yang baik juga diberikan dalam rangka memuliakan. Budaya Takdziman adalah budaya menghormati yaitu menempatkan Kyai dan keluarga diatas dirinya, menjaga kehormatan Kyai dan keluarganya bahkan rela mengorbankan dirinya untuk kehormatan Kyai dan keluarganya. Budaya itu berlaku setiap hari selama 24 jam selama santri mondok sehingga menjadi bagian dalam diri santri.

Bagaimana dengan budaya di wilayah kita. Sangat sedikit pesantren yang menerapkan budaya Takriman wa Takdziman ini. Penilaian saya saat berkunjung ke pondok – pondok hanya 10 – 15 % santri bersikap Takriman wa Takdziman selebihnya seakan tak perduli, bahkan lewat depan kyai seperti biasa tanpa tunduk kepala atau membungkukan badan, sungguh budaya yang kurang dikembangkan dikalangan pesantren, pembangunan akhlak bisa tercipta dari sistem sosial yang bangun menjadi budaya sehingga tertanam dijiwa santri sampai akhir hayat. Seorang kyai yang sudah terkenal sekali pun akan tunduk memuliakan dan menghormati Kyai dan keluarganya karena sudah tertanam saat di pesantren, tidak sedikit seorang yang bergelar ustad yang lupa dan tidak ada saya hormat kepada kyai dan keluarganya bahkan merasa sederajat. Dan itu adalah hal buruk bagi seorang santri.

Takriman wa Takdziman lil Mahabbah adalah ciri pesantren Nahdlatul Ulama yang tidak boleh mati, sudah menjadi tanggung jawab para penerus pondok dan santri ( alumni ) menjaga tradisi ini. Menjaga budaya tersebut adalah dengan memelihara dan memberikan wawasan kepada santri betapa pentingnya memuliakan dan menghormati Kyai dan keluarganya, Takriman wa Takdziman juga menjadi keberkahan ilmu bagi santri.