ORANG TUAKU BERNAMA GADGET

ORANG TUAKU BERNAMA GADGET

Dalam al-Qur’an istilah anak dipanggil dengan empat istilah/kedudukan, yakni 1).Ziinatun (perhiasan) 2).Fitnah (ujian & cobaan), dan 3).Qurrota a’yun, (penyejuk mata hati) 4). ‘Aduwwun (musuh). Tentu kita sebagai orang tua mengharapkan anak kita masuk dalam kategori yang ketiga “Qurrota a‎‎’yun”, karena qurrota a’yun  inilah yang disebut anak shaleh”, sebagaimana doa yang dipanjatkan Nabi Zakariya AS

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”(QS: al-Furqon, 74).

Namun, untuk mendapatkan kategori tsb diperlukan ketekunan dan konsisten orang tua dalam berupaya untuk mewujudkannya, selain itu doa yang harus selalu mengalir dari hati orangtuanya. Seyogyanya, orang tua menjadi figure/teladan untuk anak-anaknya. Karena anak merupakan cermin dari orang tuanya.

Berbicara tentang anak di zaman 4.0 sekarang ini, tidak sedikit sikap abai dan pasif orang tua dalam mengawasi dan membimbing anak-anaknya dalam menggunakan gadget/HP, dari mulai umur dini sampai remaja, saya perhatikan sebagian besar orang tua terkesan mudah memberikan gadget sebagai pegangan keseharian anaknya dan tidak terlalu khawatir dengan dampak negatif yang akan ditimbulkan dari penggunaan gadget secara terus- menerus dengan tanpa pengawasan dan penjadwalan, sehingga tidak aneh jika banyak anak-anak yang menjadi dewasa prematur, mereka asyik menggunakan HP diberbagai titik sudut rumah, sekolah dan jalan yang akhirnya membuat pola hidupnya tak teratur bahkan sulit diatur.

Penggunaan gadget tanpa pengawasan dan penjadwalan dari ortu itu akan berpengaruh negatif pada perkembangan nilai agama, interaksi sosial di sekitar dan psikologi anak, sebab gadget bagi anak akan menimbulkan ketergantungan dan menyebabkan mereka makin terisolasi dari kehidupan sosial nyata. Alhasil, anak akan rentan terhadap depresi ketika “dipaksa” untuk berhadapan dengan dunia nyata. Padahal manajemen penggunaan gadget bagi anak merupakan langkah awal edukasi dan proteksi sebagai perwujudan amanah dan juga langkah dari realisasi harapan ortu diatas. Memang tidak dipungkiri bahwa gadget memiliki dampak positif seperti dipergunakan untuk media informasi & pembelajaran, ada juga yang masuk kategori daruruat/bahaya yang seringkali sebagai jalam menenangkan anaknya yang rewel atau nangis juga atas dasar kesibukan orang tua namun tanpa penjadwalan dan pengawasan.

Perlu diketahui bahwa tipe anak (baligh) sebagai generasi digital itu sebagai:

1. Eksistensi diri ; anak berupaya ingin membuktikan keberadaan mereka dengan membuat berbagai akun media sosial (Facebook, Instagram, Youtube, Tiktok dll)

2. Ekspresi bebas ; anak cenderung blak-blakan, berfikir terbuka, bebas dan tidak suka diatur. Dalam hal ini, dunia maya menawarkan kebebasan berekspresi.

3. Pembelajar ; anak mampu belajar jauh lebih cepat melalui kemudahan dalam mengakses informasi yang jauh lebih cepat dengan berbagai mesin pencari (Google,dll)

Akhir kata simpulanku bagi orang tua zaman now terkait pemberian gadget bagi anak itu bukan melarang anak-anak menggunakan gadget, karena mereka merupakan generasi “digital native” yang sudah mengenal media elektronik sejak lahir yang berbeda dengan zaman kita dulu. Maka tugas kita sebagai orang tua mempersiapkan, membimbing anak-anak menghadapi era digital ini dengan sukses tanpa mengindahkan pendidikan agama dan perkembangan hubungan aktif sosial disekitarnya, sebab langkah proteksi melalui monitoring (pengawasan), timing (penjadwalan) dsb tsb sebagai usaha serius mengemban amanah Tuhan dan dalam rangka merealisasikan cita-cita kita sebagai ortu.

TIPS Bagi Orang Tua Mendamping Anak di Era Digital :

1.Tingkatkan ilmu pengetahuan orang tua, terkhusus parenting, operasional gadget juga dampak positif dan negatif dari gadget.

a.Meski orang tua cenderung lebih ‘gaptek’ dibanding anak, namun di era digital ini, orang tua harus senantiasa mengikuti perkembangan kemajuan teknologi. Luangkan waktu untuk belajar hal baru terkait media sosial dan dunia maya, agar bisa mendampingi dan memantau anak ‘berselencar’ lebih jauh.

2.Arahkan anak untuk ‘bijak’ menggunakan media digital

a.Orang tua memiliki kendali untuk membatasi waktu penggunaan gadget bagi anak, sesuai dengan usia anak. Tetap upayakan agar anak lebih banyak waktu untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung dengan dunia sosial yang nyata dan mengekplorasi lingkungan secara langsung melalui berbagai aktivitas seperti bermain di alam, membaca, berolahraga, dll

b.Arahkan dan kontrol anak untuk menggunakan gadget untuk tujuan positif yang bisa memaksimalkan tumbuh kembang mereka.

c.Batasi secara bijak aktivitas dan etika anak berkomunikasi di dunia maya.

3.Pilihkan program/aplikasi positif dalam gadget yang bisa men’screening’ secara langsung hal-hal yang berdampak negatif terhadap perkembangan anak seperti konten porno dll.

4.Dampingi & tingkatkan interaksi bersama anak dalam penggunaan gadget/media digital.

Sudahkah kita mempersiapkan diri menjadi orang tua yang bijak di era  serba digital ini?

Apakah anak-anak kita akan Qurrotu a’yun di dunia dan akhirat nanti atau sebaliknya mereka menjadi aduwwun yang akan mempersulit & mencegah kita masuk surga?

If Your Plan for 1 year, Plant a rice

If Your Plan for 10 years, Plant a tree

If Your Plan for 100 years, Educate Children

Wallahu a’lam

Ahmad Idhofi

Mengamalkan Hadis Dhaif

Mengamalkan Hadis Dhaif

Kalau kita telusuri pendapat para ulama, paling tidak kita bisa mendapatkan tiga kecenderungan yang berbeda dalam menanggapi masalah hadits dhaif.

1. Kelompok Pertama

Mereka adalah kalangan yang secara mutlak menolak mentah-mentah semua hadits dhaif. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nashehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.

Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya.

2. Kelompok Kedua

Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.

Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:

  • Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
  • Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
  • Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
  • Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.

3. Kelompok Ketiga

Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.

Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarokdan yang lainnya.

Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata,’Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”

Hadits Dhaif Berbeda dengan Hadits Palsu

Perlu untuk kita ketahui bersama bahwa hadits dhaif itu sendiri berbeda sekali dengan hadits palsu. Hadits dhaif masih dianggap sebagai hadits nabi, hanya saja sebagian ulama dengan kriteria yang sangat ketat menganggap bahwa sebagian perawinya tidak lulus standar ‘adil dan dhabith yang mereka tetapkan. Sementara ulama hadits lainnya, mungkin tidak seketat mereka dalam mencari cacat dan aib seorang perawi hadits.

Dan yang paling terkenal sangat ketat dalam masalah menyeleksi para perawi hadits adalah Al-Imam Al-Bukhari dan juga Al-Imam Muslim. Pantaslah kalau kedua kitab shahih mereka dinobatkan menjadi kitab tershahih kedua dan ketiga setelah Al-Quran. Hal itu lantaran mereka berdua sangat streng, ketat, tajam dan ‘tidak kenal ampun’ dalam upaya mereka.

Konon dari sekitar 50 ribuan hadits yang Al-Bukhari seleksi, hanya tersisa sekitar 5.000-an saja yang dianggap shahih. Itu pun ada banyak hadits yang terulang-ulang. Sehingga angka sesungguhnya hanya sekitar 2.000-an hadits saja.

Rupanya, tidak semua hadits yang dianggap tidak lolos seleksi itu pasti dhaifnya. Sebab di luar hadits shahih yang ditetapkan oleh Al-Bukhari, masih banyak hadits shahih. Contohnya adalah kitab shahih yang disusun oleh Imam Muslim. Banyak sekali hadits yang tidak lolos seleksi oleh Al-Buhari, tapi oleh Imam Muslim diloloskan. Dan berlaku juga dengan sebaliknya.

Kalau pada hadits shahih, para ulama hadits telah berbeda pendapat dalam penentuannya, maka demikian juga halnya dengan hadits dhaif, mereka pun sudah pasti berbeda pendapat juga. Maka sangat mungkin ada sebuah hadits yang dikatakan dhaif oleh si fulan, tetapi tidak didhaifkan oleh ulama lainnya.

Kesimpulannya, khilaf atau beda pendapat itu bukan terjadi di kalangan ahli fiqih saja, tetapi di kalangan ahli hadits pun tidak kalah serunya perbedaan itu.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Berpikir Tertib ala Pesantren

Berpikir Tertib ala Pesantren

Mengkaji pendapat ulama dalam mazhab itu membuat kita mengerti cara berpikir yang tertib dan sistematis. Tidak serampangan asal comot opini atau fatwa ulama. Para Kiai di pesantren terlatih untuk mengikuti cara berpikir yang ilmiah ini –tidak sebagaimana cibiran kalangan tertentu seolah para Kiai itu kuno, kolot, dan tidak ngilmiah.

Kitab Fathul Mu’in dengan hasyiah-nya I’anatut Thalibin, sebuah kitab mazhab Syafi’i yang banyak dipelajari dan dipedomani di pesantren-pesantren membicarakan bagaimana seharusnya bermazhab.

Dalam kitab itu disebutkan bahwa dalam bermazhab (demikian juga dalam memberikan fatwa dan memutuskan hukum di pengadilan), pendapat yang harus dipedomani adalah pendapat yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.

Akan tetapi jika keduanya berbeda pendapat, pendapat Imam Nawawi-lah yang harus dijadikan pedoman. Apabila tidak ditemukan pendapat Imam Nawawi, barulah dipedomani pendapat Imam Rafi’i, lalu pendapat yang dinyatakan rajih (kuat) oleh sebagian besar ulama, dan seterusnya.

Dari sisi kitab, jika kitab-kitab karya Imam Nawawi saling berlainan antara yang satu dengan yang lain maka – secara berturut-turut – kitab yang harus dijadikan rujukan ialah kitab al-Majmu’, at-Tahqiq, at-Tanqih, ar-Raudhah, al-Minhaj, dan seterusnya. Cara pandang dan sikap seperti itu terdapat pula di lingkungan mazhab lain.

Lantas bagaimana kalau terjadi perbedaan riwayat dalam memahami hasil ijtihad Imam Syafi’i? Maka Imam Nawawi dalam kitab al-Minhaj pun menjelaskan berbagai istilah yang dipakai dalam mazhab Syafi’i. Sekedar menyebutkan contoh saja:

  1. Al-Adzhar ( الأظهر) : yaitu pendapat imam Syafi’i yang lebih diunggulkan ketika argument beliau sama-sama kuat antara dua pendapat atau lebih,
  2. Al-Masyhur (المشهور ) : pendapat imam Syafi’i yang diunggulkan (al-rajih) dari beberapa pendapat sang Imam yang argumentasinya lemah, alias dalil-dali dari pendapat yang dikatakan sebagai masyhur itu kuat dan dalil-dalil yang menyimpulkan hukum yang lain lemah, yaitu al-gharib ( الغريب ).
  3. Al-Ashah ( الأصح ) : Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’iyyah, dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama kuat dari segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan al-ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi’i yyah yang tidak kuatnya disebut dengan ash-shahih.
  4. Al-Nash ( النص ) : adalah pendapat atau ucapan sang Imam as-Syafi’i, sedangkan lawan dari al-nash ( النص ) yaitu dhoif (ضعيف ) atau qoul mukhorroj ( قول مخرج ), maka lawan dari al-nash ( النص ) tidak boleh diamalkan serta tidak boleh juga disandarkan (pendapat itu) kepada sang Imam kecuali dengan memberikan catatan.

Ini sebabnya anda tidak bisa dianggap pakar dalam bidang ilmu apapun kalau belum berpikir secara runtut, tertib dan sistematik sesuai disiplin ilmu tersebut. Itu yang membuat para Kiai di pondok pesantren sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa, tidak seperti para mufti di facebook dan mufti medsos lainnya 

Kita ini belum ada seujung kuku ilmunya para Kiai. Bahkan saat berbeda pandangan dengan para Kiai pun kita tidak boleh su’ul adab. Mari kita doakan semoga Allah merahmati para Kiai, masyayikh dan guru-guru kita dan kita diberi ‘cipratan‘ cahaya dan rahasia ilmu-ilmu mereka. Amin ya Allah

Tabik,

Nadirsyah Hosen

Berdakwah dan Berfatwa hanya dengan Modal Satu Ayat?

Berdakwah dan Berfatwa hanya dengan Modal Satu Ayat?

Banyak ustadz dan da’i kagetan yang mendadak menjadi ahli fatwa yang menghukumi halal-haram, bid’ah atau sunnah, dan mana yang sesat atau selamat. Mereka merasa cukup paham satu ayat dan sudah bisa ber-istinbathmengeluarkan fatwa. Alasan mereka adalah Hadis Nabi SAW yang gemar mereka kutip, ballighu ‘anni walau ayat, sampaikan dariku meski hanya satu ayat.

Bagaimana sebenarnya maksud Hadis Nabi tersebut?

٣٢٠٢ – حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّحَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي كَبْشَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Telah bercerita kepada kami Abu ‘Ashim adl-Dlahhak bin Makhlad telah mengabarkan kepada kami Al Awza’iy telah bercerita kepada kami Hassan bin ‘Athiyyah dari Abi Kabsyah dari ‘Abdullah bin ‘Amru bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”.

Hadis dari kitab shahih bukhari (hadis nomor 3202) di atas biasanya dikutip tidak utuh, makanya saya cantumkan lengkap di atas. Hadis tersebut juga tercantum dalam Sunan Abi Dawud, Hadis Nomor 3177; Sunan al-Tirmidzi, Hadis Nomor 2593; dan Musnad Ahmad, Hadis Nomor 6198.

Tiga kitab Hadis yang pertama (Bukhari, Abu Dawud dan al-Tirmidzi) mencantumkannya dalam bab Bani Israil. Kenapa? Nah di sini clue penting yang menjadi hilang kalau Hadis di atas tidak dikutip secara lengkap seperti yang dilakukan para da’i dan ustadz dadakan itu.

  • Pertama, Hadis di atas bicara soal penyampaian informasi. Rasul menjelaskan ayat yang beliau baru terima tidak selalu didepan semua sahabat. Adakalanya saat menerima wahyu Rasul didampingi oleh 2-3 sahabat. Atau saat memberikan penjelasan di masjid, ada sahabat yang tidak hadir. Ini sebabnya dalam riwayat lain Nabi bersabda “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir” (HR Bukhari-Muslim). Inilah konteks Hadis ‘sampaikan dariku meski satu ayat’. Sahabat diminta menyampaikan penjelasan Rasul kepada yang tidak hadir atau tidak mendengar langsung dari Rasul agar mereka juga tahu apa penjelasan dari Rasul. Jadi, meski seorang sahabat hanya mendengar satu ayat, tapi kalau satu ayat itu tidak diketahui oleh yang lain, sampaikanlah. Begitulah penjelasan Ibn Hajar dalam Fathul Bari yang men-syarah-i Hadis di atas.
  • Kedua, Hadis di atas juga mengabarkan bahwa info yang disebar itu bukan hanya dari Rasul tapi juga dari bani israil. Mungkin ini sebabnya hadis ini suka dipangkas karena sudah menyebut soal bani Israel. Kalau konsisten mau berdalil dengan Hadis ini maka jelas kita harus sampaikan juga info lainnya termasuk dari bani israil. Jangan menyembunyikan info untuk kepentingan tertentu. Hadis di atas sesungguhnya tengah mengajarkan kita tentang pentingnya memberikan keseimbangan info. Mentang-mentang tidak suka dengan kelompok tertentu maka dalil bantahan mereka disembunyikan. Ini tidak benar karena info dari bani Israel saja kata Nabi tidak mengapa diceritakan, sebagaimana para sahabat menceritakan penjelasan ayat dari Nabi. Di sinilah tingginya muatan moral dari Nabi masalah penyebaran informasi ini.
  • Ketiga, ada satu larangan dalam Hadis di atas, yaitu kita jangan bohong atas nama Rasul atau mengada-ngadakan cerita bahwa Rasul bilang begini dan begitu padahal itu tidak benar. Melakukan dusta atas nama Rasul ini akan dijamin masuk neraka seperti disebutkan dalam bagian akhir Hadis di atas.

Walhasil, dengan membaca teks lengkap dan memahami konteks serta membaca syarh Hadis tersebut, maka kita akan memperoleh pemahaman yang menyeluruh bahwa Hadis di atas bukan bermakna boleh berdakwah apalagi mengeluarkan fatwa cuma dengan modal satu ayat. Menyampaikan berita/info itu tidak sama dengan menyampaikan kandungan atau tafsir ayat al-Qur’an. Ibaratnya, Bagian Humas dengan Bagian Litbang itu jelas berbeda. Yang satu cuma meneruskan info yang ada, dan yang satu lagi mengkaji dan meneliti info tersebut.

Jelas Hadis tersebut kalau dibaca secara lengkap tidak bicara dalam konteks berdakwah apalagi memutus perkara halal-haram, atau dipakai untuk menyalah-nyalahkan orang lain yang berbeda pemahaman. Hadis di atas sejatinya bicara soal penyampaian, penyeimbangan dan akurasi informasi. Wa allahu a’lam bi al-shawab

Tabik,

Nadirsyah Hosen

Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela dengan Islam?

Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela dengan Islam?

Benarkah Yahudi dan Nasrani tidak rela dengan Islam? Tafsir QS 2: 120

Inilah ayat yang populer dipakai untuk menjadi dasar hubungan umat Islam dengan non-Muslim. Ayat ini sering dikelirupahami sehingga setiap ada ketegangan antara umat, maka ayat inilah yang dipakai sebagai rujukan. Tapi bagaimana sebenarnya maksud ayat ini:

QS al-Baqarah 120. “orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”

Ayat ini sebenarnya ditujukan khusus untuk Nabi Muhammad dengan penggunaan dhamir “ka” (kamu/engkau). Ini berarti ayat ini tidak dimaksudkan untuk semua umat Islam atau ketidaksukaan Yahudi dan Nasrani itu ditujukan kepada agama islam. Yahudi dan Nasrani yang dimaksud juga terbatas sesuai asbabun nuzul ayat ini, bukan semua Yahudi dan Nasrani.

Kata millah dalam teks al-Qur’an di atas dipahami berbeda-beda oleh para mufassir. Imam al-Thabari menafsirkan millah dengan agama, maka begitulah terjemah al-Qur’an versi Kemenag mengartikan millah. Akan tetapi Tafsir al-Baghawi mengartikannya sebagai al-Thariqah, yaitu jalan. Maka yang dikehendaki non-Muslim itu adalah agar Nabi Muhamad mengikuti jalan mereka (bukan mengikuti agama mereka). Jalan dalam hal apa? dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.

Tafsir Ibn Katsir hanya mengutip sepotong penjelasan dari Imam Thabari, jadi sebaiknya kita langsung me-refer kepada kitab Tafsir al-Thabari, yang menjelaskan bahwa maksud ayat ini adalah:

Nabi Muhammad diminta fokus untuk mengharapkan ridha Allah, dan tidak perlu mencari-cari cara untuk menyenangkan Yahudi dan Nasrani. Apa yang Nabi dakwahkan kepada mereka itu akan mereka tentang karena antara mereka sendiri saling tidak cocok. Nasrani tidak cocok dengan Yahudi, begitu pula sebaliknya. Apa yang Nabi Muhammad dakwahkan pada mereka itu adalah jalan untuk berkumpul bersama dalam kasih sayang di bawah naungan Islam.

Yahudi dan Nasrani tidak dapat bertemu untuk rela padamu wahai Nabi kecuali kalau kamu menjadi seorang Yahudi atau seorang Nasrani. Dan hal itu tidak mungkin. Karena kamu adalah pribadi yang satu. Tidak mungkin kamu menjadi keduanya yang saling bertentangan itu. Jadi, carilah ridha Allah semata dan tidak perlu risau dengan mereka yang tidak rela denganmu.

Tafsir al-Baghawi menceritakan asbabun nuzul ayat ini, biar lebih jelas bagi kita apa peristiwa yang membuat non-Muslim tidak senang dengan jalan yang ditempuh Nabi Muhammad.

Mereka (Yahudi dan Nasrani) meminta Nabi untuk melakukan gencatan senjata dan mereka berjanji akan ikut Nabi. Maka Allah menurunkan ayat ini. Maksud ayat ini adalah: Apabila kamu (Muhammad) melakukan gencatan senjata mereka selamanya tetap tidak akan senang dengan kamu. Mereka meminta gencatan senjata itu hanya sebagai alasan bukan tanda mereka rela kecuali kamu ikut jalan mereka.

Ibnu Abbas berkata: ini dalam kasus Kiblat di mana Yahudi Madinah dan Nasrani Najran mengharap pada Nabi agar ketika shalat menghadap kiblat mereka. Ketika Allah memindahkan kiblat umat Islam ke Ka’bah mereka menjadi putus asa untuk mengharapkan Nabi agar setuju pada kiblat mereka. Maka Allah menurunkan ayat (2:120) ini.

Untuk itu Ibn Abbas mengkhususkan bahwa yang tidak suka selamanya dengan Nabi itu terbatas pada Yahudi di Madinah dan Nasrani di Najran, bukan semua Yahudi dan Nasrani.

Kesimpulan: ayat ini bukan berarti semua Yahudi dan Nasrani benci kepada umat Islam dan menginginkan kita untuk pindah ke agama mereka. Ayat ini sekedar memberitahu Nabi Muhammad untuk fokus dalam berdakwah mencari ridha Allah semata, bukan karena menginginkan kerelaan dari Yahudi di Madinah dan Nasrani di Najran. Ayat yang berupa reminder khusus kepada Nabi Muhammad ini sayangnya sekarang malah sering dipakai untuk menyerang pihak lain.

Wa Allahu a’lam

Nadirsyah Hosen