EKSISTENSI dan ESENSI

EKSISTENSI dan ESENSI

Fenomena gejala religiusitas modern saat ini semakin menggeliat dan mengkristal secara maknawi menjadi korpus-korpus doktrinal kaum millenial, city kommunal maupun kaum profesional dengan jargon Hijrah’nya, entah itu dengan desain hijrah industrial, komersial, dsb, padahal hijrah itu ada dua macam (hijrah makaniyah/fiskal & haliyah/spiritual).

Fenomena diatas terlihat dengan adanya massifitas kelompok yang dominan menginterpretasikan perihal keimanan & keislaman kebanyakan sebatas pd dimensi kebahasaan (tekstual) dan sebagai aktivitas pengetahuan kognitif belaka, akhirnya berimplikasi pada penekanan aktualisasi nilai-nilai keagamaan dijewantahkan hanya melalui simbolik eksistensi luaran semata seperti penekanan memakai atribut keshalehan lahiriah, berkutat pd kultur egosentris ujubiyah/merasa paling…, dan ada juga praktik religiusitas tsb dilakukan secara narsis melalui media politik kekuasaan pragmatis.

Tak ayal seringkali hal diatas berdampak pd hakikat inner dan power iman & islam kian pudar, hilang dan raibnya makna kedalaman agama, sirnanya kebersahajaan dan kerendahan hati dalam memproyeksikan keimanannya atas Realitas Absolut yang dikukuhi dalam agama.


Ada beberapa Nasihat-nasihat Esensial terutarakan oleh para ulama dulu:

Parameter keshalehan seseorang bukan terletak pada jubah atau sorban yang dia kenakan, sebab kealiman adalah karakter yang melekat di dalam jiwa. Pakaian yang lusuh tidak akan merubah kualitasnya. (Rumi).


ذنبك المستور لا يَجعلك أهلاً للخَوض في أهل الذنب المَفضوح لا تَغتَرّ بحلم الله عليك

“Dosamu yg tertutupi janganlah membuat dirimu seolah2 berhak untuk menghukumi, menjelek2kan, menghinakan kpd mrk yg dosany terkuak, jnganlah engkau terlena dg klembutn Allah kpdmu“.

“Jika melihat orang jahat, jangan anggap kita lebih mulia kerana mungkin satu hari nanti dia akan insaf dan bertaubat atas kesalahannya.”

“Jangan biarkan hati Anda mendapatkan kesenangan dengan pujian dari orang lain atau Anda akan sedih dengan kecaman mereka.” (Imam Al Ghazali)


اهل الفضل هم اهل الفضل مالم يروا فضلهم

Orang mulia adalah orang yang mulia sepanjang tidak memperhatikan kemuliaannya.” (Fudlail ibn Iyadl)



الرجل كلما اتسع فكره وعلمه اتسع قلبه وصدره

Manakala pikiran dan pengetahuan seseorang luas dan mendalam, maka hati dan dadanya lapang (menerima perbedaan)”.


وكلما زاد فقهه ونظره قل انكاره على الناس

 “Manakala pengetahuan dan pandangn seseorg makin luas dan tinggi, ia jarang sekali menyalahkan orang lain“.


لَوْ طَغَى حُبُّ الرُّوْحِ عَلَى حُبِّ الْجَسَدِ لَأَغْلَقَتْ دَوْرَ الْأَزيَاءِ أَبْوَابَهَا

“Seandainya cinta ruhaniah melampaui cinta jasmani niscaya hal itu pakaian tak berguna lagi” (Al-Rawajiyyah, Hikam wa Amtsal, h. 8).


Mari terus mengaji dan menggali sampai ketempat galian diri!

Wallahu a’lam

Ahmad Idhofi

TEMANKU SYAFAATKU

TEMANKU SYAFAATKU

“Setemen temene batur iku kang temen temen” (bahasa jawa), artinya “sebaik baiknya teman adalah yang sungguh-sungguh menjaga perteman sampai akhirat”.

Bersyukurlah bila dikaruniai banyaknya teman. Teman-teman yang hadir dalam kehidupan kita itu beragam, ada teman yang mampir hanya untuk mengulang masa kebersamaan (motif; tarikhan), ada yang datang karena untuk keperluan usaha dan pinjaman (motif; tijaaratan/dainan), ada teman yang hadir hanya sekedar menggangu dan menguji kesabaran alias menyebalkan (motif: Waswasan), bahkan tidak sedikit saling sapa dan jumpa karena kepentingan politik semata (motif; siyaasiyan), sebagaimana saat ini hangat terjadi “untuk tipe yang satu ini perlu ekstra hati-hati”. Kemudian ada juga teman karena adanya kesukaan yang sama (motif; hubban): sama-sama suka main bola, suka ngopi dsb.

Saya kira kita gak perlu pilah pilih teman. Bertemanlah dengan siapa saja! adapun nilai-nilai dan pandangan hidup yang muncul dari pertemanan itu baru kita pilah-pilih, karena pola pikir dan pola hidup kita saat ini adalah hasil dari dialektika kita dengan lingkungan/teman, bahkan hasil dialek teman seringkali lebih mendominasi dari pada hasil dialek kita dengan orang tua dan guru. Secara umum teman itu ada tiga tipe: ada yang seperti 1).داء/penyakit, 2).دواء/obat & 3).مائدة/makanan,hidangan”. Dari ketiga tipe tersebut, manakah tipe yang banyak hadir dalam kehidupan kita? Sila renungkan!

Dengan banyaknya teman secara tidak langsung membuka wawasan & kedewasaan kita dalam berpikir, membangun network (sillaturraahim, sillatulilmi wa sillatulmaal), ada prakata baik yang pernah saya dengar “Untuk bertahan hidup, kita memang perlu bekerja keras… Tapi untuk menuju tahapan hidup yang lebih tinggi lagi”, kita perlu membangun relasi, semakin banyak relasi, maka semakin besar pula kemungkinan untuk sukses” inilah yang dinamakan kumpulan aksi, kreasi dan kolaborasi. Kemudian point yang tak kalah penting dari manfaat banyaknya teman adalah “edukasi”, artinya orang/teman adalah cermin (المرء مرءة) kita diajak belajar mengenal banyak karakter dari berbagai latar belakang agar lebih memahami konsep kehidupan, hal ini selaras dengan perintah Tuhan.

Finaly, mencari teman baik/shalih itu susah, tapi melepaskannya sangat mudah, terlebih menjelang musim PILEG & PILPRES yang sarat angkara, tak sedikit antar pendukung saling mensucikan dan mendewakan pilihannya dan menodai pilihan selainnya yang tidak sesuai dengan nafsunya, narasi agama tak lagi menyentuh kalbunya, spektrum logika tersekat lava nafsunya, hingga jalinan pertemanan tergadai dengan begitu murah.

Oleh karenanya, mari bergaul sesering mungkin dengan teman yang selalu membangun komunikasi aura positif dan produktif, selalu mendorong untuk selalu komunikasi secara intens terhadap sang Khalik. Hal yang harus diingat adalah bilamana kita memiliki teman-teman yang shalih maka “mereka akan menjadi syafa’at kita di hari kiamat”, Aamiin.

Penyesalan salah gaul/teman dalam surat Al-Furqan;

 يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلانًا خَلِيلا (٢٨) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلإنْسَانِ خَذُولا (٢٩)

“Wahai, Malanglah/celaka aku! Sekiranya aku tidak menjadikan si dia itu teman karib. Sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan ketika itu telah datang kepadaku.”

Wallahu a’lam.

By: Ahmad Idhofi

ORANG TUAKU BERNAMA GADGET

ORANG TUAKU BERNAMA GADGET

Dalam al-Qur’an istilah anak dipanggil dengan empat istilah/kedudukan, yakni 1).Ziinatun (perhiasan) 2).Fitnah (ujian & cobaan), dan 3).Qurrota a’yun, (penyejuk mata hati) 4). ‘Aduwwun (musuh). Tentu kita sebagai orang tua mengharapkan anak kita masuk dalam kategori yang ketiga “Qurrota a‎‎’yun”, karena qurrota a’yun  inilah yang disebut anak shaleh”, sebagaimana doa yang dipanjatkan Nabi Zakariya AS

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”(QS: al-Furqon, 74).

Namun, untuk mendapatkan kategori tsb diperlukan ketekunan dan konsisten orang tua dalam berupaya untuk mewujudkannya, selain itu doa yang harus selalu mengalir dari hati orangtuanya. Seyogyanya, orang tua menjadi figure/teladan untuk anak-anaknya. Karena anak merupakan cermin dari orang tuanya.

Berbicara tentang anak di zaman 4.0 sekarang ini, tidak sedikit sikap abai dan pasif orang tua dalam mengawasi dan membimbing anak-anaknya dalam menggunakan gadget/HP, dari mulai umur dini sampai remaja, saya perhatikan sebagian besar orang tua terkesan mudah memberikan gadget sebagai pegangan keseharian anaknya dan tidak terlalu khawatir dengan dampak negatif yang akan ditimbulkan dari penggunaan gadget secara terus- menerus dengan tanpa pengawasan dan penjadwalan, sehingga tidak aneh jika banyak anak-anak yang menjadi dewasa prematur, mereka asyik menggunakan HP diberbagai titik sudut rumah, sekolah dan jalan yang akhirnya membuat pola hidupnya tak teratur bahkan sulit diatur.

Penggunaan gadget tanpa pengawasan dan penjadwalan dari ortu itu akan berpengaruh negatif pada perkembangan nilai agama, interaksi sosial di sekitar dan psikologi anak, sebab gadget bagi anak akan menimbulkan ketergantungan dan menyebabkan mereka makin terisolasi dari kehidupan sosial nyata. Alhasil, anak akan rentan terhadap depresi ketika “dipaksa” untuk berhadapan dengan dunia nyata. Padahal manajemen penggunaan gadget bagi anak merupakan langkah awal edukasi dan proteksi sebagai perwujudan amanah dan juga langkah dari realisasi harapan ortu diatas. Memang tidak dipungkiri bahwa gadget memiliki dampak positif seperti dipergunakan untuk media informasi & pembelajaran, ada juga yang masuk kategori daruruat/bahaya yang seringkali sebagai jalam menenangkan anaknya yang rewel atau nangis juga atas dasar kesibukan orang tua namun tanpa penjadwalan dan pengawasan.

Perlu diketahui bahwa tipe anak (baligh) sebagai generasi digital itu sebagai:

1. Eksistensi diri ; anak berupaya ingin membuktikan keberadaan mereka dengan membuat berbagai akun media sosial (Facebook, Instagram, Youtube, Tiktok dll)

2. Ekspresi bebas ; anak cenderung blak-blakan, berfikir terbuka, bebas dan tidak suka diatur. Dalam hal ini, dunia maya menawarkan kebebasan berekspresi.

3. Pembelajar ; anak mampu belajar jauh lebih cepat melalui kemudahan dalam mengakses informasi yang jauh lebih cepat dengan berbagai mesin pencari (Google,dll)

Akhir kata simpulanku bagi orang tua zaman now terkait pemberian gadget bagi anak itu bukan melarang anak-anak menggunakan gadget, karena mereka merupakan generasi “digital native” yang sudah mengenal media elektronik sejak lahir yang berbeda dengan zaman kita dulu. Maka tugas kita sebagai orang tua mempersiapkan, membimbing anak-anak menghadapi era digital ini dengan sukses tanpa mengindahkan pendidikan agama dan perkembangan hubungan aktif sosial disekitarnya, sebab langkah proteksi melalui monitoring (pengawasan), timing (penjadwalan) dsb tsb sebagai usaha serius mengemban amanah Tuhan dan dalam rangka merealisasikan cita-cita kita sebagai ortu.

TIPS Bagi Orang Tua Mendamping Anak di Era Digital :

1.Tingkatkan ilmu pengetahuan orang tua, terkhusus parenting, operasional gadget juga dampak positif dan negatif dari gadget.

a.Meski orang tua cenderung lebih ‘gaptek’ dibanding anak, namun di era digital ini, orang tua harus senantiasa mengikuti perkembangan kemajuan teknologi. Luangkan waktu untuk belajar hal baru terkait media sosial dan dunia maya, agar bisa mendampingi dan memantau anak ‘berselencar’ lebih jauh.

2.Arahkan anak untuk ‘bijak’ menggunakan media digital

a.Orang tua memiliki kendali untuk membatasi waktu penggunaan gadget bagi anak, sesuai dengan usia anak. Tetap upayakan agar anak lebih banyak waktu untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung dengan dunia sosial yang nyata dan mengekplorasi lingkungan secara langsung melalui berbagai aktivitas seperti bermain di alam, membaca, berolahraga, dll

b.Arahkan dan kontrol anak untuk menggunakan gadget untuk tujuan positif yang bisa memaksimalkan tumbuh kembang mereka.

c.Batasi secara bijak aktivitas dan etika anak berkomunikasi di dunia maya.

3.Pilihkan program/aplikasi positif dalam gadget yang bisa men’screening’ secara langsung hal-hal yang berdampak negatif terhadap perkembangan anak seperti konten porno dll.

4.Dampingi & tingkatkan interaksi bersama anak dalam penggunaan gadget/media digital.

Sudahkah kita mempersiapkan diri menjadi orang tua yang bijak di era  serba digital ini?

Apakah anak-anak kita akan Qurrotu a’yun di dunia dan akhirat nanti atau sebaliknya mereka menjadi aduwwun yang akan mempersulit & mencegah kita masuk surga?

If Your Plan for 1 year, Plant a rice

If Your Plan for 10 years, Plant a tree

If Your Plan for 100 years, Educate Children

Wallahu a’lam

Ahmad Idhofi

Mengamalkan Hadis Dhaif

Mengamalkan Hadis Dhaif

Kalau kita telusuri pendapat para ulama, paling tidak kita bisa mendapatkan tiga kecenderungan yang berbeda dalam menanggapi masalah hadits dhaif.

1. Kelompok Pertama

Mereka adalah kalangan yang secara mutlak menolak mentah-mentah semua hadits dhaif. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nashehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.

Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya.

2. Kelompok Kedua

Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.

Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:

  • Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
  • Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
  • Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
  • Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.

3. Kelompok Ketiga

Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.

Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarokdan yang lainnya.

Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata,’Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”

Hadits Dhaif Berbeda dengan Hadits Palsu

Perlu untuk kita ketahui bersama bahwa hadits dhaif itu sendiri berbeda sekali dengan hadits palsu. Hadits dhaif masih dianggap sebagai hadits nabi, hanya saja sebagian ulama dengan kriteria yang sangat ketat menganggap bahwa sebagian perawinya tidak lulus standar ‘adil dan dhabith yang mereka tetapkan. Sementara ulama hadits lainnya, mungkin tidak seketat mereka dalam mencari cacat dan aib seorang perawi hadits.

Dan yang paling terkenal sangat ketat dalam masalah menyeleksi para perawi hadits adalah Al-Imam Al-Bukhari dan juga Al-Imam Muslim. Pantaslah kalau kedua kitab shahih mereka dinobatkan menjadi kitab tershahih kedua dan ketiga setelah Al-Quran. Hal itu lantaran mereka berdua sangat streng, ketat, tajam dan ‘tidak kenal ampun’ dalam upaya mereka.

Konon dari sekitar 50 ribuan hadits yang Al-Bukhari seleksi, hanya tersisa sekitar 5.000-an saja yang dianggap shahih. Itu pun ada banyak hadits yang terulang-ulang. Sehingga angka sesungguhnya hanya sekitar 2.000-an hadits saja.

Rupanya, tidak semua hadits yang dianggap tidak lolos seleksi itu pasti dhaifnya. Sebab di luar hadits shahih yang ditetapkan oleh Al-Bukhari, masih banyak hadits shahih. Contohnya adalah kitab shahih yang disusun oleh Imam Muslim. Banyak sekali hadits yang tidak lolos seleksi oleh Al-Buhari, tapi oleh Imam Muslim diloloskan. Dan berlaku juga dengan sebaliknya.

Kalau pada hadits shahih, para ulama hadits telah berbeda pendapat dalam penentuannya, maka demikian juga halnya dengan hadits dhaif, mereka pun sudah pasti berbeda pendapat juga. Maka sangat mungkin ada sebuah hadits yang dikatakan dhaif oleh si fulan, tetapi tidak didhaifkan oleh ulama lainnya.

Kesimpulannya, khilaf atau beda pendapat itu bukan terjadi di kalangan ahli fiqih saja, tetapi di kalangan ahli hadits pun tidak kalah serunya perbedaan itu.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Berpikir Tertib ala Pesantren

Berpikir Tertib ala Pesantren

Mengkaji pendapat ulama dalam mazhab itu membuat kita mengerti cara berpikir yang tertib dan sistematis. Tidak serampangan asal comot opini atau fatwa ulama. Para Kiai di pesantren terlatih untuk mengikuti cara berpikir yang ilmiah ini –tidak sebagaimana cibiran kalangan tertentu seolah para Kiai itu kuno, kolot, dan tidak ngilmiah.

Kitab Fathul Mu’in dengan hasyiah-nya I’anatut Thalibin, sebuah kitab mazhab Syafi’i yang banyak dipelajari dan dipedomani di pesantren-pesantren membicarakan bagaimana seharusnya bermazhab.

Dalam kitab itu disebutkan bahwa dalam bermazhab (demikian juga dalam memberikan fatwa dan memutuskan hukum di pengadilan), pendapat yang harus dipedomani adalah pendapat yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.

Akan tetapi jika keduanya berbeda pendapat, pendapat Imam Nawawi-lah yang harus dijadikan pedoman. Apabila tidak ditemukan pendapat Imam Nawawi, barulah dipedomani pendapat Imam Rafi’i, lalu pendapat yang dinyatakan rajih (kuat) oleh sebagian besar ulama, dan seterusnya.

Dari sisi kitab, jika kitab-kitab karya Imam Nawawi saling berlainan antara yang satu dengan yang lain maka – secara berturut-turut – kitab yang harus dijadikan rujukan ialah kitab al-Majmu’, at-Tahqiq, at-Tanqih, ar-Raudhah, al-Minhaj, dan seterusnya. Cara pandang dan sikap seperti itu terdapat pula di lingkungan mazhab lain.

Lantas bagaimana kalau terjadi perbedaan riwayat dalam memahami hasil ijtihad Imam Syafi’i? Maka Imam Nawawi dalam kitab al-Minhaj pun menjelaskan berbagai istilah yang dipakai dalam mazhab Syafi’i. Sekedar menyebutkan contoh saja:

  1. Al-Adzhar ( الأظهر) : yaitu pendapat imam Syafi’i yang lebih diunggulkan ketika argument beliau sama-sama kuat antara dua pendapat atau lebih,
  2. Al-Masyhur (المشهور ) : pendapat imam Syafi’i yang diunggulkan (al-rajih) dari beberapa pendapat sang Imam yang argumentasinya lemah, alias dalil-dali dari pendapat yang dikatakan sebagai masyhur itu kuat dan dalil-dalil yang menyimpulkan hukum yang lain lemah, yaitu al-gharib ( الغريب ).
  3. Al-Ashah ( الأصح ) : Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’iyyah, dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama kuat dari segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan al-ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi’i yyah yang tidak kuatnya disebut dengan ash-shahih.
  4. Al-Nash ( النص ) : adalah pendapat atau ucapan sang Imam as-Syafi’i, sedangkan lawan dari al-nash ( النص ) yaitu dhoif (ضعيف ) atau qoul mukhorroj ( قول مخرج ), maka lawan dari al-nash ( النص ) tidak boleh diamalkan serta tidak boleh juga disandarkan (pendapat itu) kepada sang Imam kecuali dengan memberikan catatan.

Ini sebabnya anda tidak bisa dianggap pakar dalam bidang ilmu apapun kalau belum berpikir secara runtut, tertib dan sistematik sesuai disiplin ilmu tersebut. Itu yang membuat para Kiai di pondok pesantren sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa, tidak seperti para mufti di facebook dan mufti medsos lainnya 

Kita ini belum ada seujung kuku ilmunya para Kiai. Bahkan saat berbeda pandangan dengan para Kiai pun kita tidak boleh su’ul adab. Mari kita doakan semoga Allah merahmati para Kiai, masyayikh dan guru-guru kita dan kita diberi ‘cipratan‘ cahaya dan rahasia ilmu-ilmu mereka. Amin ya Allah

Tabik,

Nadirsyah Hosen

Berdakwah dan Berfatwa hanya dengan Modal Satu Ayat?

Berdakwah dan Berfatwa hanya dengan Modal Satu Ayat?

Banyak ustadz dan da’i kagetan yang mendadak menjadi ahli fatwa yang menghukumi halal-haram, bid’ah atau sunnah, dan mana yang sesat atau selamat. Mereka merasa cukup paham satu ayat dan sudah bisa ber-istinbathmengeluarkan fatwa. Alasan mereka adalah Hadis Nabi SAW yang gemar mereka kutip, ballighu ‘anni walau ayat, sampaikan dariku meski hanya satu ayat.

Bagaimana sebenarnya maksud Hadis Nabi tersebut?

٣٢٠٢ – حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّحَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي كَبْشَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Telah bercerita kepada kami Abu ‘Ashim adl-Dlahhak bin Makhlad telah mengabarkan kepada kami Al Awza’iy telah bercerita kepada kami Hassan bin ‘Athiyyah dari Abi Kabsyah dari ‘Abdullah bin ‘Amru bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”.

Hadis dari kitab shahih bukhari (hadis nomor 3202) di atas biasanya dikutip tidak utuh, makanya saya cantumkan lengkap di atas. Hadis tersebut juga tercantum dalam Sunan Abi Dawud, Hadis Nomor 3177; Sunan al-Tirmidzi, Hadis Nomor 2593; dan Musnad Ahmad, Hadis Nomor 6198.

Tiga kitab Hadis yang pertama (Bukhari, Abu Dawud dan al-Tirmidzi) mencantumkannya dalam bab Bani Israil. Kenapa? Nah di sini clue penting yang menjadi hilang kalau Hadis di atas tidak dikutip secara lengkap seperti yang dilakukan para da’i dan ustadz dadakan itu.

  • Pertama, Hadis di atas bicara soal penyampaian informasi. Rasul menjelaskan ayat yang beliau baru terima tidak selalu didepan semua sahabat. Adakalanya saat menerima wahyu Rasul didampingi oleh 2-3 sahabat. Atau saat memberikan penjelasan di masjid, ada sahabat yang tidak hadir. Ini sebabnya dalam riwayat lain Nabi bersabda “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir” (HR Bukhari-Muslim). Inilah konteks Hadis ‘sampaikan dariku meski satu ayat’. Sahabat diminta menyampaikan penjelasan Rasul kepada yang tidak hadir atau tidak mendengar langsung dari Rasul agar mereka juga tahu apa penjelasan dari Rasul. Jadi, meski seorang sahabat hanya mendengar satu ayat, tapi kalau satu ayat itu tidak diketahui oleh yang lain, sampaikanlah. Begitulah penjelasan Ibn Hajar dalam Fathul Bari yang men-syarah-i Hadis di atas.
  • Kedua, Hadis di atas juga mengabarkan bahwa info yang disebar itu bukan hanya dari Rasul tapi juga dari bani israil. Mungkin ini sebabnya hadis ini suka dipangkas karena sudah menyebut soal bani Israel. Kalau konsisten mau berdalil dengan Hadis ini maka jelas kita harus sampaikan juga info lainnya termasuk dari bani israil. Jangan menyembunyikan info untuk kepentingan tertentu. Hadis di atas sesungguhnya tengah mengajarkan kita tentang pentingnya memberikan keseimbangan info. Mentang-mentang tidak suka dengan kelompok tertentu maka dalil bantahan mereka disembunyikan. Ini tidak benar karena info dari bani Israel saja kata Nabi tidak mengapa diceritakan, sebagaimana para sahabat menceritakan penjelasan ayat dari Nabi. Di sinilah tingginya muatan moral dari Nabi masalah penyebaran informasi ini.
  • Ketiga, ada satu larangan dalam Hadis di atas, yaitu kita jangan bohong atas nama Rasul atau mengada-ngadakan cerita bahwa Rasul bilang begini dan begitu padahal itu tidak benar. Melakukan dusta atas nama Rasul ini akan dijamin masuk neraka seperti disebutkan dalam bagian akhir Hadis di atas.

Walhasil, dengan membaca teks lengkap dan memahami konteks serta membaca syarh Hadis tersebut, maka kita akan memperoleh pemahaman yang menyeluruh bahwa Hadis di atas bukan bermakna boleh berdakwah apalagi mengeluarkan fatwa cuma dengan modal satu ayat. Menyampaikan berita/info itu tidak sama dengan menyampaikan kandungan atau tafsir ayat al-Qur’an. Ibaratnya, Bagian Humas dengan Bagian Litbang itu jelas berbeda. Yang satu cuma meneruskan info yang ada, dan yang satu lagi mengkaji dan meneliti info tersebut.

Jelas Hadis tersebut kalau dibaca secara lengkap tidak bicara dalam konteks berdakwah apalagi memutus perkara halal-haram, atau dipakai untuk menyalah-nyalahkan orang lain yang berbeda pemahaman. Hadis di atas sejatinya bicara soal penyampaian, penyeimbangan dan akurasi informasi. Wa allahu a’lam bi al-shawab

Tabik,

Nadirsyah Hosen